Ketika sekali lagi bencana terjadi dan gempa berkekuatan 5,9 skala
Richter menggoncang Yogyakarta dan sebagian wilayah Jawa Tengah pada
Sabtu, 27 Mei 2006 lalu, salah satu respon kota pelajar adalah
meliburkan semua pelajar dan mahasiswa, meski bangunan sekolah dan
perguruan tinggi mereka tidak ikut rontok digoyang gempa.
Namun,
libur tidak lantas menjadikan para siswa dan mahasiswa
berongkang-ongkang kaki di rumah. Nurani memangggil mereka memberikan
kontribusi untuk membantu sesama.
Evakuasi Korban Sang Sahabat Alam
Budi Utomo,
22, masih tertidur lelap di kamar kosnya saat gempa datang pada pukul
05.53 WIB. Goncangan hebat tak ayal membuat ia terbangun dan berlari
keluar. Setelah gempa reda, ia dan rekan kosnya-sebagian besar tergabung
dalam kelompok Pecinta Alam Mahasiswa Ekonomi (PALMAE) Universitas
Gadjah Mada-segera pergi ke kampus. Mereka langsung mengontak SAR (Search and Rescue)
daerah untuk mencari tahu situasi terakhir pascagempa. Apalagi tersiar
kabar juga bahwa Malioboro mengalami kerusakan yang cukup parah.
Sambil
menunggu informasi, Budi dan rekan-rekan berusaha menyiapkan peralatan
yang mungkin akan berguna untuk membntu evakuasi. Mereka juga menyiapkan
air mineral sebagai cadangan rehidrasi bagi para korban. Ketika kabar
dari SAR daerah diterima, Budi dan sembilan rekannya pergi mengendarai 5
motor untuk memberi bantuan evakuasi.
Mereka memang telah
siaga untuk menghadapi kemungkinan bencana. Kondisi Merapi yang selama
dua bulan semakin mengkhawatirkan membuat mereka siap untuk
sewaktu-waktu dimintai bantuan. “Sebagai pecinta alam memang sudah
sepatutnya menjadi sahabat bagi semua,” ujar Budi.
Selama
berhari-hari, Budi melakukan evakuasi di Imogiri, Bantul, salah satu
daerah yang mengalami kerusakan parah. Menjadi relawan yang melihat
langsung keadaan Yogya dan sekitarnya yang hancur, bagaikan sebuah paket
kebahagiaan dan kepedihan bagi Budi. Ia senang bisa membantu, namun
juga sedih karena banyak korban yang dibantu tidak hanya kehilangan
harta benda tapi juga anggota keluarga mereka. Berada di
antara para korban gempa, Budi yang berasal dari Jambi pun merasa
menemukan keluarga ketiga-setelah keluarganya sendiri dan teman-temannya
sesama pecinta alam.
Beramal Sambil Belajar
Bagi Heri Santoso, 21, Sabtu merupakan hari yang dinanti-nanti. Karena
pada hari itu, mahasiswa Akademi Keperawatan Bethesda ini mendapat
jadwal kuliah praktik di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta. Menurut Heri,
kuliah praktek lebih menyenangkan karena ia lebih mudah mempelajari
masalah medis. Ia sedang bersiap menuju kampusnya ketika gempa terjadi.
Dan Sabtu, 27 Mei 2006, itu pun menjadi hari yang berat baginya.
RS
Bethesda memang tidak mengalami kerusakan, namun korban gempa terus
berdatangan hingga melebihi kapasitas rumah sakit yang memiliki
fasilitas cukup lengkap ini. Akibatnya, tak sedikit dari mereka yang
diberi pertolongan pertama di area parkiran. Heri dan rekan-rekan
kuliahnya pun akhirnya turun langsung untuk memberi bantuan medis.
Sebagai
mahasiswa tingkat lanjut, ia sudah diberi kepercayaan untuk melakukan
penjahitan bagi korban. Dengan masker, sarung tangan, dan sebuah meja
beroda berisi obat-obatan, ia menjahit luka-luka korban. Baginya melihat
korban dengan luka parah menimbulkan kengiluan sendiri. Namun ia segera
menambahkan, “tapi sudah biasa.”.
Selama menjadi relawan ia hanya berganti giliran setelah bertugas selama 12 jam.
Ia juga mengaku siap jika ditugaskan untuk membantu korban langsung di
daerah bencana, seperti Bantul atau Klaten. “Beramal sambil belajar,”
ujarnya memberi alasan sembari mengantarkan korban ke dalam rumah sakit
untuk mendapat penanganan lebih lanjut. Sementara itu, mobil-mobil
berisi korban terus berdatangan.
Trauma Healing ala Maulana
Bisa jadi, Akhmad Wukiran Maulana, 23, adalah orang pertama yang
menjadi relawan di RS Dr. Sardjito, Yogyakarta. Sehari-hari, pemuda ini
lebih banyak dilakukan di mesjid kampus Al Mardliyah yang berlokasi
kurang dari 50 meter dengan rumah sakit tersebut. Beberapa saat setelah
terjadi gempa, ia melihat kekacauan yang dialami RS Dr. Sardjito. Meski
bangunan rumah sakit tetap utuh, pasien-pasien rawat inap mengalami
kepanikan dan berhamburan keluar. Tak berapa lama kemudian,
korban-korban gempa dengan luka parah juga mulai berdatangan.
Sayangnya,
jumlah korban baru yang terus berdatangan tak seimbang dengan kapasitas
rumah sakit sehingga mereka terpaksa ditangani secara bergantian oleh
petugas medik. Sejak itu, Maulana menjadi relawan. Tugasnya adalah
memindahkan korban dari satu ruang ke ruang lain. Selama dua hari
Maulana dan beberapa rekannya melakukan itu.
Namun sejak
hari ketiga, dengan keberadaan Posko Relawan SR Dr. Sardjito, para
relawan pun diposisikan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
Maulana yang memiliki kapabilitas di bidang agama lebih memilih
memberikan bantuan berupa trauma healing. “Para korban memikirkan
keluarganya yang hilang, rumahnya yang hancur, dan akan kemana mereka
pulang setelah diobati padahal fisik mereka juga masih sakit,” katanya.
Maka selain membantu memindahkan korban, Maulana juga mulai memberikan bantuan berupa motivasi bagi korban. “Saya hanya mengingatkan mereka untuk bersabar. Berserah sama Tuhan,”
tuturnya. Dengan pakaian batik, blangkon, masker, dan tanda putih
dilengan yang menunjukan bahwa dirinya relawan, Maulana hadir di tengah
para korban dan siap diminta bantuan.
Bolos yang Didukung Pak Wakil Kepala Sekolah
Hari-hari pertama gempa, Ferianto, 16, disibukan dengan mencari tahu
keadaan keluarga dan teman-teman sekolahnya di SMA N 9 Yogyakarta.
Hasilnya, semua keluarga selamat, namun ada beberapa rumah guru dan
teman sekolahnya yang rubuh. Ia tidak dapat banyak membantu saat itu.
Menjadi relawan pun tampak tidak memungkinkan.
Selain
orang tuanya khawatir jika Ferianto harus pergi ke daerah pusat bencana,
ia sendiri sedang sibuk menyiapkan ujian akhir semester. Senin, hari
kedua pasca gempa, Feri berkumpul di sekolah dengan teman-temannya yang
selamat. Mereka merasa berkewajiban untuk membantu guru dan teman
sekolahnya yang menjadi korban. Setelah berdiskusi, mereka memutuskan
untuk mengedarkan kotak amal di jalanan. Ide ini mereka ajukan kepada
wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, dan disetujui. “Baru kali ini
kita didukung untuk bolos,” ujar mereka.
Maka, Feri dan
teman-teman sekolahnya mengedarkan kotak amal dari kardus di simpang
empat Jenderal Soedirman. Area dekat dengan sekolah mereka ini merupakan
jalur terpadat yang dilalui kendaraan di kota Yogyakarta. Lembar demi
lembar uang ribuan disodorkan dari jendela mobil yang melewati tempat
itu. Tak jarang mereka bereduh sebentar dari terik matahari di
pepohonan.
Rencananya, hasil pengumpulan uang akan
diserahkan pada teman dan guru mereka sendiri. Feri mengaku merasa
prihatin dengan jumlah korban yang mencapai ribuan. Ia berkata, “kami hanya bisa melakukan ini. Mudah-mudahan bermanfaat.”
Barangkali
bantuan yang mereka lakukan tidak terlalu besar. Namun, disaat yang
genting, ketika banyak orang-orang lari menyelamatkan diri sendiri,
pengorbanan mereka patut diberi pujian.
Oleh Aries Setiadi
Tulisan dimuat dalam Majalah Reader's Digest Indonesia edisi Nomor 08, Agustus 2006.