Jumat, 01 September 2006

Panggilan Nurani para Pemuda Yogya

Ketika sekali lagi bencana terjadi dan gempa berkekuatan 5,9 skala Richter menggoncang Yogyakarta dan sebagian wilayah Jawa Tengah pada Sabtu, 27 Mei 2006 lalu, salah satu respon kota pelajar adalah meliburkan semua pelajar dan mahasiswa, meski bangunan sekolah dan perguruan tinggi mereka tidak ikut rontok digoyang gempa.

Namun, libur tidak lantas menjadikan para siswa dan mahasiswa berongkang-ongkang kaki di rumah. Nurani memangggil mereka memberikan kontribusi untuk membantu sesama.


Evakuasi Korban Sang Sahabat Alam

Budi Utomo, 22, masih tertidur lelap di kamar kosnya saat gempa datang pada pukul 05.53 WIB. Goncangan hebat tak ayal membuat ia terbangun dan berlari keluar. Setelah gempa reda, ia dan rekan kosnya-sebagian besar tergabung dalam kelompok Pecinta Alam Mahasiswa Ekonomi (PALMAE) Universitas Gadjah Mada-segera pergi ke kampus. Mereka langsung mengontak SAR (Search and Rescue) daerah untuk mencari tahu situasi terakhir pascagempa. Apalagi tersiar kabar juga bahwa Malioboro mengalami kerusakan yang cukup parah.

Sambil menunggu informasi, Budi dan rekan-rekan berusaha menyiapkan peralatan yang mungkin akan berguna untuk membntu evakuasi. Mereka juga menyiapkan air mineral sebagai cadangan rehidrasi bagi para korban. Ketika kabar dari SAR daerah diterima, Budi dan sembilan rekannya pergi mengendarai 5 motor untuk memberi bantuan evakuasi.

Mereka memang telah siaga untuk menghadapi kemungkinan bencana. Kondisi Merapi yang selama dua bulan semakin mengkhawatirkan membuat mereka siap untuk sewaktu-waktu dimintai bantuan. “Sebagai pecinta alam memang sudah sepatutnya menjadi sahabat bagi semua,” ujar Budi.

Selama berhari-hari, Budi melakukan evakuasi di Imogiri, Bantul, salah satu daerah yang mengalami kerusakan parah. Menjadi relawan yang melihat langsung keadaan Yogya dan sekitarnya yang hancur, bagaikan sebuah paket kebahagiaan dan kepedihan bagi Budi. Ia senang bisa membantu, namun juga sedih karena banyak korban yang dibantu tidak hanya kehilangan harta benda tapi juga anggota keluarga mereka. Berada di antara para korban gempa, Budi yang berasal dari Jambi pun merasa menemukan keluarga ketiga-setelah keluarganya sendiri dan teman-temannya sesama pecinta alam.


Beramal Sambil Belajar

Bagi Heri Santoso, 21, Sabtu merupakan hari yang dinanti-nanti. Karena pada hari itu, mahasiswa Akademi Keperawatan Bethesda ini mendapat jadwal kuliah praktik di Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta. Menurut Heri, kuliah praktek lebih menyenangkan karena ia lebih mudah mempelajari masalah medis. Ia sedang bersiap menuju kampusnya ketika gempa terjadi. Dan Sabtu, 27 Mei 2006, itu pun menjadi hari yang berat baginya.

RS Bethesda memang tidak mengalami kerusakan, namun korban gempa terus berdatangan hingga melebihi kapasitas rumah sakit yang memiliki fasilitas cukup lengkap ini. Akibatnya, tak sedikit dari mereka yang diberi pertolongan pertama di area parkiran. Heri dan rekan-rekan kuliahnya pun akhirnya turun langsung untuk memberi bantuan medis.

Sebagai mahasiswa tingkat lanjut, ia sudah diberi kepercayaan untuk melakukan penjahitan bagi korban. Dengan masker, sarung tangan, dan sebuah meja beroda berisi obat-obatan, ia menjahit luka-luka korban. Baginya melihat korban dengan luka parah menimbulkan kengiluan sendiri. Namun ia segera menambahkan, “tapi sudah biasa.”.

Selama menjadi relawan ia hanya berganti giliran setelah bertugas selama 12 jam. Ia juga mengaku siap jika ditugaskan untuk membantu korban langsung di daerah bencana, seperti Bantul atau Klaten. “Beramal sambil belajar,” ujarnya memberi alasan sembari mengantarkan korban ke dalam rumah sakit untuk mendapat penanganan lebih lanjut. Sementara itu, mobil-mobil berisi korban terus berdatangan.


Trauma Healing ala Maulana

Bisa jadi, Akhmad Wukiran Maulana, 23, adalah orang pertama yang menjadi relawan di RS Dr. Sardjito, Yogyakarta. Sehari-hari, pemuda ini lebih banyak dilakukan di mesjid kampus Al Mardliyah yang berlokasi kurang dari 50 meter dengan rumah sakit tersebut. Beberapa saat setelah terjadi gempa, ia melihat kekacauan yang dialami RS Dr. Sardjito. Meski bangunan rumah sakit tetap utuh, pasien-pasien rawat inap mengalami kepanikan dan berhamburan keluar. Tak berapa lama kemudian, korban-korban gempa dengan luka parah juga mulai berdatangan.

Sayangnya, jumlah korban baru yang terus berdatangan tak seimbang dengan kapasitas rumah sakit sehingga mereka terpaksa ditangani secara bergantian oleh petugas medik. Sejak itu, Maulana menjadi relawan. Tugasnya adalah memindahkan korban dari satu ruang ke ruang lain. Selama dua hari Maulana dan beberapa rekannya melakukan itu.

Namun sejak hari ketiga, dengan keberadaan Posko Relawan SR Dr. Sardjito, para relawan pun diposisikan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Maulana yang memiliki kapabilitas di bidang agama lebih memilih memberikan bantuan berupa trauma healing. “Para korban memikirkan keluarganya yang hilang, rumahnya yang hancur, dan akan kemana mereka pulang setelah diobati padahal fisik mereka juga masih sakit,” katanya.

Maka selain membantu memindahkan korban, Maulana juga mulai memberikan bantuan berupa motivasi bagi korban. “Saya hanya mengingatkan mereka untuk bersabar. Berserah sama Tuhan,” tuturnya. Dengan pakaian batik, blangkon, masker, dan tanda putih dilengan yang menunjukan bahwa dirinya relawan, Maulana hadir di tengah para korban dan siap diminta bantuan.


Bolos yang Didukung Pak Wakil Kepala Sekolah

Hari-hari pertama gempa, Ferianto, 16, disibukan dengan mencari tahu keadaan keluarga dan teman-teman sekolahnya di SMA N 9 Yogyakarta. Hasilnya, semua keluarga selamat, namun ada beberapa rumah guru dan teman sekolahnya yang rubuh. Ia tidak dapat banyak membantu saat itu. Menjadi relawan pun tampak tidak memungkinkan.

Selain orang tuanya khawatir jika Ferianto harus pergi ke daerah pusat bencana, ia sendiri sedang sibuk menyiapkan ujian akhir semester. Senin, hari kedua pasca gempa, Feri berkumpul di sekolah dengan teman-temannya yang selamat. Mereka merasa berkewajiban untuk membantu guru dan teman sekolahnya yang menjadi korban. Setelah berdiskusi, mereka memutuskan untuk mengedarkan kotak amal di jalanan. Ide ini mereka ajukan kepada wakil kepala sekolah bidang kesiswaan, dan disetujui. “Baru kali ini kita didukung untuk bolos,” ujar mereka.

Maka, Feri dan teman-teman sekolahnya mengedarkan kotak amal dari kardus di simpang empat Jenderal Soedirman. Area dekat dengan sekolah mereka ini merupakan jalur terpadat yang dilalui kendaraan di kota Yogyakarta. Lembar demi lembar uang ribuan disodorkan dari jendela mobil yang melewati tempat itu. Tak jarang mereka bereduh sebentar dari terik matahari di pepohonan.

Rencananya, hasil pengumpulan uang akan diserahkan pada teman dan guru mereka sendiri. Feri mengaku merasa prihatin dengan jumlah korban yang mencapai ribuan. Ia berkata, “kami hanya bisa melakukan ini. Mudah-mudahan bermanfaat.”

Barangkali bantuan yang mereka lakukan tidak terlalu besar. Namun, disaat yang genting, ketika banyak orang-orang lari menyelamatkan diri sendiri, pengorbanan mereka patut diberi pujian.

Oleh Aries Setiadi
Tulisan dimuat dalam Majalah Reader's Digest Indonesia edisi Nomor 08, Agustus 2006.