Senin, 31 Desember 2007

Antara Olimpiade Sains dan Harry Potter

Sebelum membaca, ucapkan mantra: Lumos*.

Ada yang menarik perhatian ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan pidato sambutan pembukaan Internasional Junior Science Olympiad (IJSO) II di hadapan 329 peserta di gedung Senisono Kompleks Istana Negara Gedung Agung Yogyakarta, 5 Desember 2005 lalu. Dalam pidato pembukaan tersebut, Presiden SBY menyebutkan, “IJSO kali ini mengingatkan saya pada film Harry Potter yang penuh dengan kompetisi. Hanya sayangnya, film itu adalah fantasi, sementara dalam ajang IJSO kali ini adalah riil. Tapi untuk kompetisinya, tirulah Harry Potter.”

Menurut Presiden SBY, Harry Potter adalah sosok anak muda yang jenius dan berani. Oleh karena itu, Presiden SBY meminta kepada peserta IJSO II yang semuanya masih tergolong anak muda agar meniru sosok tersebut. Alasannya, sosok anak muda dalam novel dan film Harry Potter layak untuk dicontoh. Yang perlu dicontoh tentunya bukan keahliannya dalam menyihir, tetapi dalam kompetisi yang sehat dan pengembangan imajinasi yang luar biasa.

Mendengar apa yang dikatakan Presiden SBY, memang masuk akal jika sains sesungguhnya juga merupakan hal yang menghibur. Sains itu menyenangkan. Sama seperti menikmati novel ataupun film yang menampilkan tokoh imajinatif karya J.K. Rowling tersebut. Sains adalah kegiatan mencetuskan ide, mengeksplorasi, mengobservasi, dan memahami apa yang telah kita temukan dalam eksplorasi dan observasi tersebut.

Memahami sains (termasuk didalamnya matematika, fisika, kimia, dan biologi) memang bukan perkara yang mudah. Perlu kesabaran, ketekunan, dan kerja keras dalam mempelajarinya. Belum lagi materi yang tergolong dalam sains biasanya menjadi momok yang mengerikan bagi mayoritas anak muda. Rendra Prasetyo, peraih medali perak dalam International Chemisty Olympiad 2005 mengatakan rumus ia dalam mempelajari kimia, “dipelajarin aja. Diulang-ulang....nanti kan jadi bisa.” [lihat rubrik sosokdalam Sagasitas Scientific Journal Edisi 3 Tahun 2005]. Buktinya, Rendra mampu membuktikan dirinya mamapu berprestasi di tingkat dunia.

Namun bukan berarti pula bahwa memahami sains hanya bisa dilakukan di laboratorium dan hanya ditujukan untuk perlombaan semata. Esensi sains itu sendiri adalah memahami segala sesuatu yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Bukankah tinta tulisan bisa menempel pada kertas ini juga sebuah bentuk sains? Atau pernah disadari bahwa film Harry Potter yang diputar dengan pita seluloid memanfaatkan rumus fisika dalam perputarannya? Maka sains sesungguhnya tidak dipisahkan dengan kehidupan kita. Dan sains sendiri bias menjadi sumber hiburan kita. Barangkali ketakutan kita akan sains lebih dikarenakan sains selama ini terkesan berorientasi laboratorium. Padahal tidak selalu. Sebagai contoh, di Inggris, pemutaran film Harry Potter bahkan dilakukan di The Science Museum of London. Ini menunjukan bahwa sains juga dapat bersatu padu dengan hiburan.

Sains memang bukan ilmu sihir yang sekali ucap mantra bisa diingat selamanya. Sains adalah sebuah rangkaian proses belajar yang harus dilakukan dengan ketekunan, kesabaran, kerja keras, dan tidak boleh dilupakan: menghibur dan menyenangkan. Jika kita tekun, tidak mustahil jika kita dapat berprestasi dibidang sains. Hasil yang diperoleh tentu akan membanggakan. Jadi, siap untuk ikut olimpiade sains? Tapi hati-hati jangan sampai, setelah belajar, mengucapkan mantra: Obliviate**.

Oleh Aries Setiadi

* Mantra untuk menyalakan lampu dalam cerita Harry Potter.
** Mantra untuk menghapus ingatan dalam cerita Harry Potter.

Tulisan ini dimuat dalam Sagasitas Scientific Journal.