Jumat, 24 Desember 2010

Pertanyaan Wawancara: Zodiak Kamu Aries?




Proses interview adalah proses yang paling menentukan dalam proses seleksi beasiswa yang saya ikuti. Selain menentukan lolos tidaknya peserta mendapat beasiswa, hasil interview juga yang menentukan apakah seseorang mendapat jatah beasiswa di dalam negeri, linkage (separuh pendidikan di dalam negeri dan separuh di luar negeri), atau sepenuhnya di luar negeri. Cukup menegangkan!

Sehari sebelum interview, gosip mengenai siapa pewawancara dan bagaimana karakter mereka mulai dibicarakan. Ada yang bilang enak, ada yang bilang menakutkan. Saya mah pasrah saja, walaupun dalam hati sih deg-degan juga.

Gedung Djuanda lantai Mezzanine masih sepi ketika teman-teman dan saya dating ke sana pukul 8 pagi, hari Kamis, 23 Desember 2010 kemarin. Mas Agung Hidayat Purwanto, Amanda, April, Mas Bayu Sukmono, Mas Cahyo Indartomo, Eko, Mbak Lestari Kurniawati, dan saya berkumpul di ruang tunggu tempat wawancara. Di tempat itu, kami bisa melihat satu persatu pewawancara berdatangan. Mereka adalah kepala biro Sumber Daya Manusia, kepala biro Hubungan Masyarakat, dan Pak Made sebagai perwakilan dari Sekretaris Direktorat Jenderal Anggaran. Melihat Pak Made sebagai salah satu pewawancara, saya menjadi jauh lebih tenang.

Beberapa hari sebelum wawancara, Pak Made sempat mengumpulkan 16 peserta dari Direktorat Jenderal Anggaran yang lolos tahap wawancara beasiswa. Beliau berbagi pengalaman beliau menempuh pendidikan Master (dengan beasiswa juga) dan memberikan gambaran kemungkinan proses wawancara. Pak Made memberikan saran agar kami mampu menjawab dengan jelas, konsisten, dan jika perlu dalam bahasa Inggris juga. Mengenai pilihan jurusan, Pak Made bercerita bahwa tidak selalu harus sama dengan latar belakang pendidikan sebelumnya atau harus sama dengan pekerjaan yang dijalani sekarang, selama memiliki argumentasi yang jelas. Ia mencontohkan dirinya sendiri yang memilih pendidikan Master of Business Administration, dengan alas an bahwa sudah sepatutnya Pemerintahan dikelola secara lebih professional layaknya perusahaan-perusahaan swasta.

Pada saat itu, pilihan studi saya di lembar isian wawancara adalah Master of Arts in Environmental Science di Columbia University. Program 1 tahun ini saya pilih karena programnya yang menarik, yaitu menyatukan unsur ilmu lingkungan dengan ilmu tata kelola lingkungan. Dari situsnya, salah satu alumni yang memberikan testimonial juga bekerja di sektor Budgeting. Makin merasa yakin lah saya dengan pilihan tersebut. Tetapi saat wawancara, Pak Anies, dari bagian SDM memberikan saran, agar sebaiknya saya tidak mengambil program yang terlalu spesifik dan agak jauh dari inti pekerjaan saya sebagai pengelola anggaran. Beliau menyarankan untuk mengambil ilmu ekonomi atau kebijakan publik, lalu mengambil konsentrasi sesuai dengan minat saya.


Saya kebagian wawancara agak akhir, karena selain ada urutan tersendiri, kemudian berlaku juga ‘aturan’ ladies first. Enaknya, saya bisa mendapat bocoran pertanyaan dari peserta tes sebelumnya. Nggak enaknya, ya, deg-degan menunggu. Sampai kemudian nama saya dipanggil… lega rasanya. Padahal sih belum ditanya-tanya ha ha ha.

Pertanyaan pertama yang keluar adalah: “Anda mau berdoa terlebih dahulu?”

Saya mengangguk, kemudian diberi kesempatan untuk berdoa. Saya membaca Al-Fatihah.

Wawancara ini sekalipun resmi, saya jalani cukup santai. Rahasianya ada pada pertanyaan kedua. Saat Pak Anies, menyebut ulang nama saya , Aries, dia langsung berkomentar: “zodiaknya pasti Aries ya?”

Zodiak saya Taurus, Pak.”

Tersentak, dia lalu membaca biodata saya di lembar profil. Pak Made kemudian menanggapi, “wah iya, ya, 26 kan udah bukan Aries lagi.

Saya sedikit bercanda, “ayah saya salah lihat kalendar, Pak. Makanya nama saya salah!”

Kami terbahak-bahak.

Wawancara kemudian kembali ke bahasan serius. Posisi kerja, deskripsi kerja, pengalaman, hingga latar belakang pendidikan Strata 1 saya. Ternyata, load pekerjaan saya yang lumayan membuat stress, Alhamdulillah, justru menjadi modal saya dalam wawancara. Saya jadi bisa menunjukan kalau kerja saya memang ada hasilnya. Misalnya, proyek pembuatan database. Seandainya saya kerja santai-santai saja, mungkin bisa kebingungan menjawab pertanyaan mengenai hasil kerja.

Saya juga sempat ditanya, “pernah jadi murid Pak Boediono?”

Wah, dengan mantap, saya mengangguk. “Pernah!”

Kebetulan memang pernah mengambil kelas Perekonomian Indonesia saat Pak Boediono ada dalam masa tenggang setelah selesai menjabat Menteri Keuangan dan kemudian dipanggil untuk menjadi Menteri Koordinator Keuangan. Entah lah ini menjadi poin atau tidak, tapi bahasan tentang Pak Boediono ini cukup dibahas secara seru saat wawancara.

Pada sesi wawancara ini juga ditanya mengapa nilai TOEFL saya agak rendah. Saya kemukakan alas an sejujurnya: nggak belajar. Tapi saya kemudian menjelaskan kalau saya punya hasil tes TOEFL iTP yang agak lumayan. Untungnya pula, saya punya skor TOEFL iTP tersebut yang sudah dilegalisasi IIEF. Untuk meyakinkan juga, dalam nejawab pertanyaan ini, saya menggunakan bahasa Inggris. Tsaahhh!

Selesai wawancara, saya cuma bisa pasrah sepasrah-pasrahnya. Usaha sudah dijalani. Allah swt pasti tahu yang terbaik untuk umat-Nya.

PS: Cerita lain saat seleksi beasiswa bisa disimak melalui posting dengan label scholarships

picture courtesy of http://michaelsseaver.com/careerbusinesscoaching/steps-to-a-successful-interview/