Proses interview adalah proses yang paling menentukan dalam
proses seleksi beasiswa yang saya ikuti. Selain menentukan lolos tidaknya
peserta mendapat beasiswa, hasil interview juga yang menentukan apakah
seseorang mendapat jatah beasiswa di dalam negeri, linkage (separuh pendidikan
di dalam negeri dan separuh di luar negeri), atau sepenuhnya di luar negeri. Cukup
menegangkan!
Sehari sebelum interview, gosip mengenai siapa pewawancara
dan bagaimana karakter mereka mulai dibicarakan. Ada yang bilang enak, ada yang
bilang menakutkan. Saya mah pasrah saja, walaupun dalam hati sih deg-degan
juga.
Gedung Djuanda lantai Mezzanine masih sepi ketika teman-teman
dan saya dating ke sana pukul 8 pagi, hari Kamis, 23 Desember 2010 kemarin. Mas Agung Hidayat Purwanto, Amanda,
April, Mas Bayu Sukmono, Mas Cahyo Indartomo, Eko, Mbak Lestari Kurniawati, dan
saya berkumpul di ruang tunggu tempat wawancara. Di tempat itu, kami bisa
melihat satu persatu pewawancara berdatangan. Mereka adalah kepala biro Sumber
Daya Manusia, kepala biro Hubungan Masyarakat, dan Pak Made sebagai perwakilan
dari Sekretaris Direktorat Jenderal Anggaran. Melihat Pak Made sebagai salah
satu pewawancara, saya menjadi jauh lebih tenang.
Beberapa hari sebelum wawancara, Pak Made sempat
mengumpulkan 16 peserta dari Direktorat Jenderal Anggaran yang lolos tahap
wawancara beasiswa. Beliau berbagi pengalaman beliau menempuh pendidikan Master
(dengan beasiswa juga) dan memberikan gambaran kemungkinan proses wawancara.
Pak Made memberikan saran agar kami mampu menjawab dengan jelas, konsisten, dan
jika perlu dalam bahasa Inggris juga. Mengenai pilihan jurusan, Pak Made bercerita
bahwa tidak selalu harus sama dengan latar belakang pendidikan sebelumnya atau
harus sama dengan pekerjaan yang dijalani sekarang, selama memiliki argumentasi
yang jelas. Ia mencontohkan dirinya sendiri yang memilih pendidikan Master of
Business Administration, dengan alas an bahwa sudah sepatutnya Pemerintahan
dikelola secara lebih professional layaknya perusahaan-perusahaan swasta.
Pada saat itu, pilihan studi saya di lembar isian wawancara
adalah Master of Arts in Environmental Science di Columbia University. Program
1 tahun ini saya pilih karena programnya yang menarik, yaitu menyatukan unsur
ilmu lingkungan dengan ilmu tata kelola lingkungan. Dari situsnya, salah satu
alumni yang memberikan testimonial juga bekerja di sektor Budgeting. Makin merasa
yakin lah saya dengan pilihan tersebut. Tetapi saat wawancara, Pak Anies, dari bagian SDM memberikan
saran, agar sebaiknya saya tidak mengambil program yang terlalu spesifik dan
agak jauh dari inti pekerjaan saya sebagai pengelola anggaran. Beliau
menyarankan untuk mengambil ilmu ekonomi atau kebijakan publik, lalu mengambil
konsentrasi sesuai dengan minat saya.
Saya kebagian wawancara agak akhir, karena selain ada urutan
tersendiri, kemudian berlaku juga ‘aturan’ ladies first. Enaknya, saya bisa
mendapat bocoran pertanyaan dari peserta tes sebelumnya. Nggak enaknya, ya,
deg-degan menunggu. Sampai kemudian nama saya dipanggil… lega rasanya. Padahal
sih belum ditanya-tanya ha ha ha.
Pertanyaan pertama yang keluar adalah: “Anda mau berdoa
terlebih dahulu?”
Saya mengangguk, kemudian diberi kesempatan untuk berdoa. Saya
membaca Al-Fatihah.
Wawancara ini sekalipun resmi, saya jalani cukup santai. Rahasianya
ada pada pertanyaan kedua. Saat Pak Anies, menyebut ulang nama saya , Aries,
dia langsung berkomentar: “zodiaknya pasti Aries ya?”
“Zodiak saya Taurus, Pak.”
Tersentak, dia lalu membaca biodata saya di lembar profil. Pak Made kemudian menanggapi,
“wah iya, ya, 26 kan udah bukan Aries lagi.”
Saya sedikit bercanda, “ayah saya salah
lihat kalendar, Pak. Makanya nama saya salah!”
Kami terbahak-bahak.
Wawancara kemudian kembali ke bahasan serius. Posisi kerja, deskripsi
kerja, pengalaman, hingga latar belakang pendidikan Strata 1 saya. Ternyata,
load pekerjaan saya yang lumayan membuat stress, Alhamdulillah, justru menjadi
modal saya dalam wawancara. Saya jadi bisa menunjukan kalau kerja saya memang
ada hasilnya. Misalnya, proyek pembuatan database. Seandainya saya kerja santai-santai saja, mungkin bisa kebingungan menjawab pertanyaan mengenai hasil kerja.
Saya juga sempat ditanya, “pernah jadi murid Pak Boediono?”
Wah, dengan mantap, saya mengangguk. “Pernah!”
Kebetulan memang pernah mengambil kelas Perekonomian
Indonesia saat Pak Boediono ada dalam masa tenggang setelah selesai menjabat
Menteri Keuangan dan kemudian dipanggil untuk menjadi Menteri Koordinator
Keuangan. Entah lah ini menjadi poin atau tidak, tapi bahasan tentang Pak
Boediono ini cukup dibahas secara seru saat wawancara.
Pada sesi wawancara ini juga ditanya mengapa nilai TOEFL
saya agak rendah. Saya kemukakan alas an sejujurnya: nggak belajar. Tapi saya
kemudian menjelaskan kalau saya punya hasil tes TOEFL iTP yang agak lumayan.
Untungnya pula, saya punya skor TOEFL iTP tersebut yang sudah dilegalisasi
IIEF. Untuk meyakinkan juga, dalam nejawab pertanyaan ini, saya menggunakan
bahasa Inggris. Tsaahhh!
PS: Cerita lain saat seleksi beasiswa bisa disimak melalui posting dengan label scholarships.
picture courtesy of http://michaelsseaver.com/careerbusinesscoaching/steps-to-a-successful-interview/
terima kasih atas artikelnya, bisa juga mampir ke artikel mengenai zodiak taurus jika berkenan.
BalasHapus