Sabtu, 01 November 2008

Perjalanan

09.53 tik tok.

Stasiun Tugu, Yogyakarta.

Jam yang bulat besar menggantung itu sudah menunjukan angka yang sama dengan waktu keberangkatan yang tertera di tiket, tapi deretan gerbong kereta dengan lokomotifnya belum juga nampak. Derunya pun belum terdengar. Sementara saya sudah menunggu setengah jam karena khawatir akan tertinggal. Kalau tahu akan begini lebih baik saya datang terlambat. Saya menggerutu sendiri.

Saya memandangi stasiun utama kota bakpia ini. Menatap atap-atapnya yang terkesan ringkih. Memandang orang-orang yang berlalu lalang. Memandang penjual-penjual yang berjalan menjajakan dagangannya lengkap dengan senyuman. Senyuman.

“Senyuman kamu.”

“Ada apa dengan senyuman aku?”

“Entah. Ada semacam perasaan senang saat aku melihat senyuman kamu.”

“Mungkin kamu jatuh cinta sama aku.”

Aku mengangguk, tak terlalu dalam, tapi kemudian menyela, “enggak.”

“Mengapa enggak?”

“Kamu ngomong apa sih? Pindah topik saja, ya.”

“Ha ha ha…”

Saya tersenyum sendiri di titik yang menjadi gerbang keluar dan menuju Kota Budaya ini. Saya tersenyum sendiri di antara orang-orang yang sibuk hiruk pikuk. Saya tersenyum sendiri mengingat masa lugu saya. Saya teringat senyumannya. Seandainya saya sempat bertemu dia dahulu. Tapi di mana ia? Mengapa sampai sekarang dia belum menghubungi saya?

10.21 tik tok.

Seorang petugas PT Kereta Api Indonesia dengan pengeras suaranya mengumumkan kedatangan Kereta Lodaya yang sudah saya tunggu sejak satu jam lalu. Saya menghembus napas dengan berat. Inilah resiko yang harus ditanggung jika memilih moda transportasi umum milik pemerintah tercinta. Terlambat adalah hal biasa. Waktu tidak ada harganya. Padahal bagi saya dan dia waktu sangatlah berharga.

Saya menaiki kereta, langsung menuju kursi 3D di gerbong eksekutif 2. Kereta terlihat lengang, mungkin karena bukan akhir pekan atau saat liburan. Hanya ada sekitar 12 penumpang termasuk saya. Satu keluarga yang terdiri dari 4 orang: Ayah, Ibu, dan 2 anak yang lucu. Program keluarga berencana yang berhasil. Saya tersenyum simpul melihat mereka. Sisa penumpang adalah individu-individu yang kemudian sibuk dengan telepon selularnya masing-masing. Barangkali mengabarkan keberangkatan mereka pada keluarga atau istri atau suami tercinta.

Saya melihat telepon selular saya. Memandangi layarnya. Tidak ada pesan ataupun panggilan tak terjawab. Saya menanti pesan dan panggilan dari ia.

“Besok saya telepon dulu.”

“Tapi kamu jangan lupa lagi.”

“Nggak, dong.”

“Dulu juga kamu lupa.”

“Aku kan sudah minta maaf.”

“Bagas, waktu kita untuk bertemu terbatas. Aku enggak mau kalau ada kesempatan yang terlewat.”

“Aku juga begitu, tapi kamu juga harus memahami keadaan aku.”

Begitu mudahnya kamu meminta aku memahami keadaan kamu, Bagas. Tidak kah kamu berpikir untuk memahami keadaan aku? Aku yang harus menempuh jarak 388 kilometer. Aku yang harus meninggalkan urusan kerja. Aku yang harus mengarang berbagai cerita sebagai alasan. Semua demi bertemu denganmu.

Memahami keadaanmu sama saja dengan aku memaksa diriku untuk memahami keadaanku. Keadaan yang bukan keinginanku. Tapi apa hendak dikata.

Saya menepis bayangan pertengkaran-pertengkaran saya dengan dia. Pertengkaran yang selalu saja berkutat pada pokok permasalahan yang sama: terbatasnya waktu saya, terbatasnya waktu dia, dan terbatasnya ruang untuk kami berdua bersua.

Kereta mulai berjalan. Di luar jendela terlihat orang-orang melambaikan tangan tanda perpisahan pada orang-orang tercintanya. Ah, seandainya dia ada.

***

Pukul sebelas lebih enam menit, kereta baru sampai Wates. Belum ada pesan singkat ataupun panggilan dari dia di telepon selular saya. Padahal saya benar-benar menantinya.
Saya melamunkan dia. Saya melamunkan Wates. Saya melamunkan gula. Saya masih ingat ketika ia mengajak saya jalan-jalan di suatu siang.

“Mau ke mana?”

“Wates.”

“Ngapain?”

“Beli gula.”

Saya tertawa. Saya kira dia bercanda. Tapi saya naik saja ke mobilnya.

Sepanjang perjalanan, dia berceloteh tentang dosennya. Dosen yang selalu merasa paling benar. Dosen yang merasa paling pintar. Dia kemudian berargumentasi betapa banyaknya tenaga pengajar di kampus yang jauh dari standar. Mengajarkan banyak rumus tanpa tahu penerapannya di dunia nyata.

Saya hanya mendengarkan saja. Saya baru setengah tahun duduk dibangku kuliah dan belum pantas menilai dosen-dosen saya. Sementara dia sudah dua tahun dan dikagumi banyak temannya karena kepintarannya. Saya juga kagum padanya.

Kemudian mobil kami menepi di sebuah tempat makan. Dia mengajak saya turun.

“Ini tempat beli gulanya,” ujarnya.

“Apa?”

Kemudian dia bertanya pada pramusaji. Membeli 1 kilogram gula batu.

Saya tertawa. “Serius beli gula?”

Dia menganggukan kepalanya, tanda mengiyakan.

“Mengapa harus sejauh ini untuk membeli gula?” selidik saya.

“Ibuku dulu selalu membeli gula dari sini dan aku suka rasanya.”

“Bukannya semua gula sama saja?”

“Manisnya gula sini beda.”

“Masa?”

“Kamu harus coba.”

Saya mengangguk.

Kami kembali ke mobilnya. Kembali ke Yogya. Kembali ke rumah yang dia tempati sendiri. Dia anak tunggal dan kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan. Kejadian yang membuat dia mandiri. Salah satu sifat yang membuat saya lebih kagum padanya.

Saya membantunya membuat teh manis di dapur. Dia memecah gula yang tadi dibeli dan mencelupkannya ke dalam teh panas yang telah saya seduh. Saya membawanya ke ruang tengah. Dia menyalakan televisi dan kemudian duduk di samping saya.

Dia memainkan gula batu yang mengapung di atas gelas dengan sendoknya. Saya memperhatikannya dengan seksama. Dia kemudian menatap saya. Saya tersipu.

“Coba,” ujarnya sembari menyodorkan gelas pada saya.

Saya menerimanya dan meminumnya pelan-pelan.

“Manis?”

Saya mengangguk.

“Tuh kan. Apa aku bilang?!”

Saya tersenyum.

Dia tersenyum. Manis. Lebih manis dari rasa teh yang baru saja saya minum.

Saya merasakan sebuah perasaan lagi padanya. Kali ini lebih dari sekedar kagum. Kemudian saya yakini sebagai cinta.

Perasaan itu terus tumbuh hingga saat ini. Saat sebuah stasiun kecil dengan papan biru menggantung bertuliskan Kutoarjo baru saja terlewati. Saat kereta api yang saya tumpangi terus melaju dengan derunya yang khas. Saat saya masih menanti kabar darinya sementara jarak semakin jauh memisahkan dia dari saya.

Telepon selular saya belum menerima pesan ataupun panggilan seharian ini. Saya memasang ear-phone dan mulai mendengarkan lagu. Mata saya terpejam tapi bayangan saya masih mengambang.

Tempo lagu yang lambat menghanyutkan perasaan saya. Saya benci perasaan melankolis seperti ini.

***

“Kadang aku lelah harus seperti ini.”

“Aku juga.”

“Tapi bagi aku, bertemu kamu menghilangkan semua lelah yang harus aku jalani demi bertemu kamu.”

“Aku juga.”

“Kamu bohong.”

“Sungguh.”

“Sungguh?”

“Iya.”

“Benar?”

Dia kemudian menghampiri saya, mendongakkan dagu saya, dan mencium bibir saya. Lembut.

Saya kemudian bermanja-manja. Memegang bahunya yang bidang dan menelusuri lengannnya hingga akhirnya meremas jemarinya yang kokoh. Saya lalu merajuk dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan retoris: “Kamu cinta aku?”

Dia mengangguk.

“Dengan segala kekurangan aku?”

Dia mengangguk.

“Dengan tulus?”

Dia mengangguk dan memeluk tubuh saya.

Saya menunduk. Memperhatikan detik pada jam yang melingkar di pergelangan lengan kiri saya. Waktu menunjukan pukul empat belas lebih empat puluh menit. Kereta sedang berhenti di stasiun Banjar. Saya sudah melewati dua propinsi: Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Suasana di luar kereta nampak panas. Sinar matahari terlihat terik. Saya bersyukur berada dalam kereta dengan pendingin udara yang membuat saya nyaman. Empat jam lebih sudah saya berada dalam kereta. Pikiran saya sudah lelah mengingat semua kenangan tentang saya dan dia. Rasanya saya ingin tidur dahulu.

***

Malam melarut. Bunyi alam melangut. Kami, saya dan dia, berbicang di kamar yang kami sewa di kawasan Malioboro.

“Kamu jadi pulang Kamis pagi?”

Saya mengangguk.

“Mau aku antar sampai stasiun?”

“Kamu bisa?”

“Aku bisa. Kamu naik kereta pukul berapa?”

“Sekitar pukul 10.”

“Oke, kalau begitu aku berangkat pukul 9 saja, sekalian ngantor.”

Saya mulai merajuk lagi. “Jadi kamu mau ngantar aku atau kerja?”

Dia tersenyum dan mengedipkan mata kirinya.

Kami tertawa, tapi kemudian kami bertengkar. Pertengkaran yang selalu saja berkutat pada pokok permasalahan yang sama: terbatasnya waktu saya, terbatasnya waktu dia, dan terbatasnya ruang untuk kami berdua bersua.

Dia terdiam.

Saya terdiam.

Hening.

“Bagaimana rasanya setelah menikah?”

Dia tersenyum kecut.

“Bagaimana kabar istri kamu?”

“Kabar suami kamu?”

“Kamu belum jawab pertanyaanku!” saya ketus.

“Aku malas menjawabnya. Bagaimana perasaan kamu saat aku tanya kabar suamimu?” nada suaranya mendadak meninggi.

Saya diam.

“Begitulah juga perasaanku,” ucapnya pelan.

Saya memalingkan muka, menatap lukisan yang menempel di tembok. Lukisan seorang anak yang tersenyum polos.

“Pernikahan yang dipaksakan sungguh tidak mengenakan. Seandainya orangtuaku belum meninggal, aku pasti minta untuk tidak menikahinya. Aku pasti menikahi kamu, Laras.”

Saya tersenyum kecut. Saya juga merasakannya, batin saya.

***

17.27 tik tok.
Pengumuman di kereta membangunkan saya. Rangkaian gerbong besi ini sudah sampai di Stasiun Kiaracondong, sebentar lagi akan sampai di Stasiun Bandung.

Saya membereskan barang-barang saya, merapikan pakaian dan rambut saya. Terdapat sebuah pesan singkat pada telepon selular saya. Saya jadi penasaran.

Pesan itu ternyata datang dari suami saya. Mengabarkan ia akan menjemput saya di stasiun. Saya senang, tapi akan lebih senang jika seseorang yang saya cintai yang mengirimkannya.

Kereta sudah sampai. Bergegas saya menjinjing koper kecil saya dan turun dari kereta.
Suami saya sudah duduk menunggu di kursi dekat restoran cepat saji. Ia tersenyum lega melihat saya melambaikan tangan.

Saya menghampiri dan memeluknya.

“Bagaimana acara pernikahan teman kamu?”

“Lancar,” jawab saya pendek.

“Jadi reuni?”

Saya mengangguk. “Pulang yuk?! Badanku udah lengket.” Saya berusaha mengalihkan perhatiannya. Saya malas untuk berbohong banyak. Saya malas mengarang cerita.

18.06 tik tok.

1 Pesan Baru. Isinya: Maaf tadi nggak jadi ke stasiun. Istriku mendadak mengeluh pusing dan minta diantar ke dokter. Luv, Bagas.
(*)

Diterbitkan dalam Majalah Femina No. 41/XXXVI 16-22 Oktober 2008

Senin, 18 Agustus 2008

Ice Coffee Mix





Seratus lima puluh mililiter ice coffee mix
Dituang ke dalam sebuah gelas plastik
Aku menyesapnya dalam keheningan malam
Dalam kesendirian

Malam sedang muram
Tak tampak bulan
Hanya lampu taman memantulkan bayanganku yang duduk di kursi taman
Hanyut dalam lamunan

Aku lelah namun berharap tak terlelap
Ice coffee mix dalam gelas plastik masih tersisa untuk disesap
Masih cukup membuatku terjaga meski hanya diam
Menghabiskan malam
Setia menunggumu
Untuk datang menepati janjimu

This poem was written in order to join "Lomba Ngeluh Gombal" by Blogfam Community. I have no clue whether I have been 'gombal" enough or not he he he. Honestly, I am not a type of romantic lad. I tried to challenge myself to be one and the poem above is the result. What do you think?

photo courtesy of 'http://blog.acehighperformancehorses.com/amajeanblog/'

Selasa, 01 April 2008

Sudut Rahasia


Masuk perpustakaan, belok ke kiri. Rak buku deret ke delapan, belok ke kanan. Di sana ada sebuah lemari kecil dengan tinggi sebahuku dan panjang lebih kurang dua meter, tempat majalah-majalah terbitan lama. Paling lama yang pernah aku baca tercatat tahun 1976. Empat belas tahun sebelum aku lahir!

Lemari selebar setengah meter itu menyisakan sedikit ruang di sudutnya. Cukup mengambil kursi, duduk, bersandar ke tembok, dan mesin pendingin udara akan menghembuskan semilir ke tubuhku. Kadang aku tertidur sejenak di sana, tanpa ada yang tau, tanpa ada yang berani mengganggu.
Sudut rahasia. Begitu aku menamainya. Sudut di mana aku bisa berkonsentrasi belajar untuk ujian. Atau, sekadar mengkhayal membuang waktu saat pelajaran kosong! Hehehe....

Yap. Tempat ini emang jarang terjamah murid-murid lain. Apalagi, murid cowok. Mereka paling males ke sini lantaran merasa nggak ada yang menarik buat dibaca. Beda dengan murid cewek. Satu-dua, masih ada cewek yang datang untuk membaca majalah baru atau buku fiksi di rak buku deret ketiga.
Sudut rahasia. Selama aku nggak mengeluarkan suara, nggak ada seorang pun yang akan tau kalo aku ada di situ. Nggak juga sahabat terdekatku, Laras.

Laras udah aku kenal sejak kecil. Sejak kelas 2 SD, seingatku. Dia murid baru di kelasku. Ketika pulang sekolah, aku menemukan ibuku dan ibu Laras udah asik ngobrol layaknya teman lama. Kata ibuku, Laras dan ibunya adalah tetangga baru di sebelah rumah.

Sore harinya, aku dan ibu berkunjung ke rumah Laras. lbu memuji potret Laras dan ibunya yang tertempel di Binding. lbu Laras tersenyum. Aku bertanya, "Kok nggak ada ayahnya?" lbu Laras menunduk. Kemudian ibuku menarik tanganku, mengajakku pulang. Di rumah, lbu menasehatiku agar nggak bertanya seperti itu lagi pada Laras dan ibunya.

Bertahun-tahun aku dan Laras bertetangga. Sekarang, aku dan Laras udah kelas XII SMA. Dan, kami selalu satu sekolah, meski nggak selalu satu kelas.

Seiring berjalan waktu, aku tau kalo ayah Laras meninggalkannya dan ibunya tanpa alasan yang jelas. Laras sendiri yang cerita!

Di antara aku dan Laras emang hampir nggak ada rahasia lagi. Semua hal tentang aku, Laras tau. Begitu pula sebaliknya. Tahi lalat di punggungnya, aku tau. Luka jahit di paha kananku, dia pun tau. Malah, kami sering mandi bareng. Tapi, itu dulu, waktu kami masih kecil.

Laras selalu bilang kalo dia percaya sepenuhnya padaku. Aku juga bilang begitu kepadanya, kecuali dua hal: sudut rahasia di perpustakaan itu dan perasaan cintaku. Masalah sudut rahasia, aku nggak bilang karena aku butuh tempat yang benar-benar bebas gangguan. Sementara masalah perasaan cinta, aku nggak bilang karena aku pikir belum waktunya! Lagian, aku belum tau Laras punya pacar atau nggak.

Pernah suatu kali aku bertanya pada Laras, “Kamu punya pacar nggak sih?”

“Hahaha...,” dia hanya tertawa.

Aku ulangi lagi pertanyaan tadi. Kali ini dia menjawab, “Rahasia!”

Kemudian, dia memukuli tubuhku dengan bantalnya, lalu menggoda, “Monik apa kabarnya? Shanty? Nina? Surat cinta Nina udah dibales?”

Sial!

Ngomong-ngomong tentang cinta, Laras emang tau banyak tentang kisah cintaku. Bahkan, sering kali dia lebih tau dibandingkan aku!

Aku nggak pernah tau kalo Nina, teman sekolahku, sebenarnya naksir aku. Aku pikir dia sering nanya rumus Fisika padaku karena emang nggak tau. Ternyata, itu cuma pura-pura! Sebab, akhirnya Nina mengakui dalam surat cinta yang diselipkannya di buku catatanku.

Laras? Dia udah bilang kepadaku mengenai dugaannya kalo Nina naksir aku sejak awal. Hanya aja, aku nggak percaya.

Itu baru satu contoh. Contoh lain, Laras juga tau kalo aku selalu menolak cewek-cewek di sekolah yang menyatakan cintanya padaku. Cuma, Laras nggak pernah memberi respon, walau hanya sekadar bertanya kenapa aku menolak cewek-cewek itu!

Hmmmm..., seandainya aja dia nanya, aku pasti akan berterus terang menjawab, “Karena aku cinta kamu, ‘Ras!”

Tiga bulan yang lalu, aku sempat bertanya pada Dinar, teman sebangku Laras, tanpa sepengetahuannya, “Laras pernah cerita tentang cowoknya nggak, ‘Nar?”

Dinar menggelengkan kepala.

“Atau, ada cowok yang lagi dia taksir?”

Dinar kembali menggelengkan kepalanya. Nggak lama Dinar berkata, “Untuk yang satu itu aku nggak berani ngomong, ‘Ndi. Kamu lebih baik tanya sendiri ke Laras. Oke?”

Aku mengangguk pelan. Pikiranku penuh dengan dugaan. Laras bisa jadi udah punya pacar. Tapi, siapa? Sering kali malem Minggu pun aku dan Laras habiskan bersama kok!

Hah! Apa mungkin pacarnya tinggal jauh? Kalo iya, kenapa selama ini dia nggak pernah cerita?

Aaakh..., nggak tau! Bingung! Penasaran!

Yang pasti, makin hari aku makin berusaha lebih dekat dengan Laras. Mengerjakan PR bersama, memeriksa agendanya, memantau kegiatannya, sampe menemaninya berbelanja. Investigasi, aku menyebutnya. Aku pengen banget tau dia dekat dengan cowok mana aja selain aku.

Sayang, investigasiku berjalan sia-sia. Hampir sembilan puluh hari aku nggak kunjung menemukan tanda-tanda Laras dekat dengan cowok lain secara istimewa. Yang tampak kasat mata hanya ada lima cowok yang dekat dengan Laras. Aku, Andri (teman satu kelompok praktikum Biologi), Rendra, Damian (teman ekskul Karate), sama Mang Udjang (tukang kebon di rumahnya)

Kenyataan ini membuat rasa penasaranku makin membuncah. Pengen banget rasanya aku mengecek email Laras untuk mencari tau kemungkinan dia pacaran jarak jauh. Tapi, itu tentu mustahil aku lakukan! Aku emang tau email add-nya, cuma kan nggak tau password-nya! Lagi pula, setahuku Laras bukan internet mania. Friendster dan Myspace-nya aja udah last login lebih dari tiga minggu lamanya.
Saat Laras mandi, aku mengendap-endap di kamarnya. Merambah tas, meja belajar, laci, hingga lemarinya. Aku berharap menemukan satu surat cinta atau sekadar petunjuk pada siapa Laras menjatuhkan cintanya. Tiga kali investigasi kamar Laras tetap berbuah hasil yang nihil!

Aku mengangkat kedua tanganku. Menyerah! Biar aja deh.... Nanti kalo udah waktunya, aku pasti akan tau sendiri.

Fuiiih ... ! Laras pintar menyimpan rahasia cintanya, seperti aku merahasiakan sudut rahasiaku di perpustakaan sekolah.

***

Matahari berada tepat di tengah ubun-ubun. Panas luar biasa! Keringat mengucur deras membasahi kepala dan leherku. Kelas Bahasa Indonesia kosong, tapi gerbang sekolah belum dibuka. Aku memutuskan untuk menyepi kembali di sudut rahasia.

Aku mengambil kursi dan duduk di pojoknya. Kancing kemeja aku buka dua. Udara sejuk mendinginkan kepalaku. Mendengarkan lagu Travis mungkin menambah sejuk suasana. Sayang, perpustakaan sekolah, bukan kamarku. Ada aturan yang harus aku taati juga.

Keringatku pelan-pelan mengering. Udara terasa makin dingin. Suasana semakin melangut. Aku terkantuk-kantuk…. Kusandarkan lebih dekat punggungku dengan tembok. Sebuah majalah lama tangkupkan menutupi muka. Semoga nggak ada yang ngegepin aku tertidur di sini.

“Tapi dia udah terlalu dekat dengan kamu.”

“Aku nggak ada perasaan apa-apa.”

“Aku takut kamu berubah.”

“Untuk apa aku berubah?”

“Dia makin dekat dengan kamu!”

“Aku sahabatnya.”

“Tapi dia cinta sama kamu.”

“Apa aku bisa melarangnya?”

“Kamu jangan terlalu dekat. Dia bisa salah paham. Dia pernah membicarakannya ke aku.”

“Apa aku bisa melarangnya?”

“Tapi Andi......”

Aku terperanjat dari tidurku. Aku masih di sudut rahasia. Aku merasa mendengar ada suara yang menyebut namaku. Kulihat sekelilingku nggak ada siapa-siapa. Barangkali tadi aku mimpi. Akh..., nggak!!! Suara itu masih ada.

Aku berdiri, membenahi kancing kemejaku. Mengosokan kedua telapak tanganku di muka agar terjaga. Aku pasang kedua telingaku mendengar obrolan mereka. Suara Laras terdengar sangat jelas. Sementara, suara yang satunya lagi aku dengar agak samar.

“Sedekat apapun aku dan Andi cuma sahabat.”

“Aku cinta kamu, ‘Ras. Aku takut kehilangan kamu.”

“Aku juga cinta kamu, ‘Nar. Cuma kamu.”

Laras??? Dinar???

Aku kembali duduk dan menyandarkan tubuhku ke tembok. Masih bengong, nggak percaya dengan obrolan yang aku dengar barusan. Aku menutup mataku. Rasanya, aku benar-benar pengen tidur dulu. (*)

Diterbitkan dalam Majalah Hai Edisi17-23 Maret 2008/TH XXXII No. 11

Sabtu, 01 Maret 2008

Venustraphobia: Takut Pada Luna Maya dan Jessica Alba


Kok bisa berkeringat dan pingsan ketika melihat Luna Maya? Bagaimana pula kalau dipaksa berdiri di depan barisan finalis Miss Universe? Inilah venustraphobia.

Oleh: Aries Setiadi

Venustraphobia adalah (jangan kaget!) fear of beautiful women. Rasa takut yang berlebihan terhadap perempuan cantik. Bagi sebagian perempuan, venustraphobia bisa jadi suatu anugerah. Perempuan tak perlu lagi mengejar kecantikan. Toh, ada pria yang justru takut dengan perempuan cantik. Tapi dari sudut pandang pria, venustraphobia adalah jelas adalah sebuah masalah besar. Bayangkan jika seorang pria hendak menonton film di bioskop dan di antara antrian terdapat sekelompok perempuan yang cantik dan jelita. Lalu si pria bukan merespon dengan siulan, tapi justru keringat dingin serta tubuh yang gemetar, kepala pusing, nafas megap-megap, dan berakhir dengan pingsan. Masalah besar, bukan?

Phobia
Phobia didefinisikan sebagai rasa takut yang tidak rasional atas suatu obyek, situasi, atau aktivitas yang spesifik. Yang perlu diberi penekanan adalah frasa ‘tidak rasional’. Pada kasus phobia, rasa takut dipicu oleh stimuli yang tidak benar-benar menakutkan atau mengancam keselamatan diri. Jika stimulan tersebut memang benar-benar berbahaya atau mengancam keselamatan diri, namanya bukan phobia lagi, melainkan rasa takut yang rasional dan wajar.

Pusing dengan maksudnya? Sederhananya seperti ilustrasi berikut ini. Alkisah, seorang pria pergi bersafari ke Afrika. Di tengah rimba, mobilnya mogok, lalu tiba-tiba datang segerombolan singan, mereka mengaum lapar dan mengejar si pria hingga lari tunggang langgang dengan ketakutan, Ini rasa takut yang rasional dan wajar. Namun jadi tidak wajar jika si pria menonton Discovery Channel, lalu singa Afrika muncul dalam tayangan, kemudian si pria merasa ketakutan, keringatan, sesak nafas, hingga hampir pingsan, inilah ketakutan yang tak rasional, phobia.

Para guru dan suhu dibidang psikologi masih berdebat mengenai pengaruh genetika, evolusi, hingga trauma terhadap asal-muasal phobia tertentu pada seseorang. Namun mereka semua sepakat bahwa phobia memiliki dampak yang besar terhadap kualitas hidup si penderita. Terlebih kuantitas penderita phobia juga relatif tidak sedikit. Secara statistik, diestimasi 1 diantara 23 orang menderita phobia yang terdiri dari berbagai jenis phobia. Dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders jilid IV, jenis phobia digolongkan dalam 3 kategori yaitu:

Pertama, agoraphobia. Rasa takut terhadap keramaian dengan obyek rasa takut tidak berfokus pada keramaiannya, melainkan pada berbagai kemungkinan yang bisa muncul tiba-tiba dalam keramaian. Penderita agoraphobia akan merasa ketakutan, tidak peduli sekedar antrian di bioskop atau hanya sebuah resepsi pernikahan. Setiap terserang rasa takut, penderita tidak bisa ditenangkan dengan pendekatan rasional.

Kedua, social phobia. Phobia terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Penderita social phobia merasakan ketakutan yang berlebihan sehingga mereka menghindari situasi sosial atau menghadapinya dengan penuh tekanan. Keadaan-keadaan yang sering memicu terjadi ketakutan pada penderita social phobia antara lain: berbicara atau tampil di depan umum, makan di depan orang lain, bahkan menggunakan kamar mandi umum. Penderita merasa penampilan atau tindakan mereka tidak tepat dan berujung pada rasa takut yang berlebihan.

Ketiga, specific phobia. Specific phobia merupakan penyakit kecemasan yang paling sering terjadi. Penderita spesific phobia mengalami ketakutan yang luar biasa terhadap obyek, situasi, atau aktivitas tertentu. Phobia ini banyak jenisnya. Mulai dari phobia yang wajar seperti phobia pada laba-laba, ular, atau ketinggian; phobia yang agak aneh seperti pada kucing atau naik mobil; hingga phobia pada Luna Maya dan Jessica Alba.

Venustraphobia
Venustraphobia (disebut juga caligynephobia), merupakan rasa takut yang berlebihan terhadap perempuan cantik. Sama halnya dengan phobia jenis lain, venustraphobia disebabkan oleh stimulan yang tidak wajar dan tidak membahayakan jiwa. Menurut sejumlah penelitian yang pernah dilakukan, venustraphobia disebabkan oleh kejadian atau pengalaman buruk yang berkaitan dengan perempuan cantik yang menyebabkan trauma psikologis pada si penderita. Trauma ini bisa terjadi secara langsung dan nyata pada si penderita atau sekedar stimulan yang tidak dirasakan langsung, seperti menonton adegan dalam film atau bahkan mendengar pengalaman traumatis dari orang lain.

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikolog, mengatakan sebenarnya venustraphobia atau phobia terhadap perempuan cantik tidak pernah secara eksklusif dikategorikan sebagai kelainan tersendiri. Maksimum gejala tersebut hanya merupakan bagian dari perasaan tidak percaya diri atau rendah diri (inferiority feeling), perasaan takut ditolak, takut tidak diterima, atau takut gagal dalam membina hubungan dengan perempuan cantik tersebut.

Permasalahan terdapat pada sisi psikis si pria. “Jadi sebenarnya pria itu takut pada dirinya sendiri, karena sepanjang saya tahu tidak ada perempuan cantik yang menakutkan,” tambah Sarlito.

Namun bukan berarti phobia ini tidak eksis. Sebuah penelitian mengklaim bahwa diestimasi 0,47 persen pria di Inggris dan 0,61 persen pria di Amerika telah terserang gejala venustraphobia. Masalahnya muncul dalam hubungan percintaan hingga dengan rekan kerja dan bisnis. Venustraphobia berefek samping pada menurunnya aktivitas sosial si penderita seiring dengan terjadinya penghindaran komunikasi dengan setiap perempuan cantik oleh si penderita tersebut.

Penelitian yang lain menyatakan venustraphobia lebih banyak diderita oleh pria dari kalangan menengah ke atas. Penyebabnya sepaham dengan pernyataan Sarlito, sikap inferiority feeling. Semangat feminisme dalam beberapa dekade terakhir telah melahirkan banyak perempuan yang menjadi pemimpin di perusahaan. Terutama dalam bidang kerja seperti public relation dan marketing, di mana perempuan cantik acap kali mendominasi puncak jabatan. Para pria yang kadung mengecap dirinya jagoan tapi kemudian kalah tanding, akhirnya mengalami perasaan rendah diri dan berlanjut dengan sikap menghindar dari perempuan cantik. Hingga pada suatu titik, perasaan-perasaan si penderita akan terakumulasi menjadi phobia.

Penderita venustraphobia bisa saja tinggal berdiam diri di rumah, tidak nonton televisi, tidak baca majalah, cukup baca koran yang jarang ada gambarnya, dan suruh pembantu untuk belanja segala rupa. Untungnya belum ada perempuan secantik Mariana Renata yang jadi pembantu rumah tangga.

Banyak Jalan Menuju Pemulihan
Para pakar psikologi sepakat jika venustraphobia menurunkan kualitas hidup penderitanya dan harus dipulihkan. Berbagai metode pemulihan kemudian diciptakan. Mulai dari hipnoterapi, neuro-linguistic programming, hingga energy psychology. Jalannya berbeda-beda, tetapi tujuan akhirnya sama: menghilangkan rasa takut.

Hipnoterapi dilakukan untuk memprogram ulang alam bawah sadar penderita dengan bantuan terapis atau psikolog sebagai mediator. Ketika rasa takut tersebut telah diprogram ulang, gejala venustraphobia akan ditekan hingga taraf minimum. Terapi ini relatif aman dan bereaksi secara cepat. Namun seringkali ada perasaan tidak nyaman pada si penderita ketika ada orang lain (dalam hal ini terapis atau psikolog) mengambil kontrol atas dirinya.

Neuro-linguistic programming secara sederhana adalah suatu proses membentuk realitas diri si penderita. Metode pemulihan ini menggunakan kekuatan imajinasi untuk memprogram ulang rasa takut pada si penderita. Dalam sudut pandang neuro-linguistic programming, phobia adalah hasil dari proses yang tidak berjalan dengan semestinya. Neuro-linguistic programming kemudian akan membenahi proses yang ‘menyimpang’ hingga venustraphobia akan ditekan atau bahkan dihilangkan.

Energy psychology merupakan suatu terapi pemulihan yang menggabungkan berbagai macam bentuk pemulihan terhadap phobia. Adapula yang menyebutnya sebagai ‘akupuntur’ emosi. Metode pemulihan ini dinilai bereaksi secara cepat dan bekerja secara aman.

Ada pula metode pemulihan lain, seperti menggunakan obat anti-depresi, terapi bicara, atau cognitive behavior therapy. Dalam beberapa kasus, penderita dapat memilih salah satu metode pemulihan, mencoba, dan sembuh. Namun pada kasus lain, penderita perlu mencoba beberapa metode hingga menemukan ‘jodoh’ yang tepat untuk membantu pemulihan. Diagnosa dini terhadap venustraphobia akan lebih memudahkan pemulihan.

Apakah Anda pernah terkena sindroma rasa takut ketika melihat Luna Maya di layar kaca? Apakah Anda lemas ketika melihat Jessica Alba tersenyum. Jika iya, segeralah kontak psikolog (yang tidak cantik). Tapi jika tidak, puji syukur pada Yang Maha Kuasa. Saya juga bersyukur tidak terkena venustraphobia. Meski mungkin perempuan cantik yang takut pada saya, he he he….

(*)

Diterbitkan dalam SOAP Magazine (R.I.P) February 2008 Issue