Jumat, 01 Januari 2010

Dualisme Pasar di Kota Pelajar





Pulang ke kotamu..ada setangkup haru dalam rindu..masih seperti dulu..tiap sudut menyapaku bersahabat..
(Katon Bagaskara dalam cuplikan lagu Yogyakarta).

Sebait lirik lagu diatas adalah lukisan kekaguman Sang Musisi terhadap Yogyakarta yang sering dijuluki sebagai kota budaya dan kota pelajar, bagi orang-orang yang tinggal di kota ini atau bagi yang hanya sekedar singgah, tentunya akan merasakan kesan yang serupa. Aura dan nuansa budaya tradisional di kota ini dulunya begitu mengendap dalam benak siapa saja yang ada didalamnya. Tetapi seiring waktu berjalan, sisi-sisi tradisional mulai semakin ditinggalkan. Apa gerangan yang terjadi di kota ini?

Tak dapat dipungkiri jika kini Yogyakarta semakin tidak jauh beda dengan Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Jalanan semakin macet, polusi  yang melebihi ambang batas,  ratusan papan iklan yang angkuh menghiasi sepanjang jalan, dan beberapa mal megah mulai menggeser keberadaan sisi tradisionalitas Yogyakarta. Seperti sebuah lagu yang terlupakan, keindahan lirik lagu Yogyakarta kini mulai dipertanyakan. Masihkah keindahan kota ini meninggalkan kesan?

Mal: Sensasi baru
Akhir-akhir ini, Kota Yogyakarta seolah sedang bergeliat melakukan revolusi untuk menjadi kota (yang ingin disebut) modern. Pembangunan sarana infrastruktur digalakkan dan pertumbuhan ekonomi dipompa. Konon katanya, semua itu dilakukan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diharapkan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan yang tidak terlalu muluk-muluk.

Berbagai aksi mulai dirancang dan diberlakukan untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan tersebut. Pembangunan mal dianggap sebagai salah satu cara untuk menggapainya. Pembagunan mal-mal diharapkan dapat menarik investasi berskala besar. Gayung bersambut ketika akhirnya investor mal mulai berdatangan ke Yogyakarta. Bahkan, disusul dengan maraknya investasi di bidang perumahan. Namun, rasanya ini sedikit melenceng dari sasaran. Sekali lagi pertanyaan diajukan, apakah pembangunan mal meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Masyarakat mana?

Galeria Mall, Mal Malioboro, Ramai Mall, dan kelak  disusul oleh Plaza Ambarukmo, Saphir Square, Hypermarket Makro, franchise Marvin Reeves Trade Center, Jogjatronik, Rekso Arcade, Kedaung, bahkan Gama Plaza milik PT. Gama Multi Usaha Mandiri (salah satu unit bisnis Universitas Gadjah Mada) akan menambah deretan panjang mal-mal yang mengisi kota kecil bernama Yogyakarta ini. Konsumennya jelas masyarakat umum. Apalagi di Yogyakarta tertampung ribuan pelajar dan mahasiswa pendatang, pangsa yang menarik untuk dibidik. Menengah keatas? Tidak juga. Masyarakat menengah ke bawah pun tidak mau ketinggalan untuk bertandang ke mal. Ciri khas mal yang menawarkan kenyamanan, keleluasaan, pengemasan menarik, dan harga yang bersaing memang menjadi daya pikat utama dari sebuah mal.

Informasi dari media kapitalis turut berperan akan tumbuhnya tingkat konsumsi di pusat perbelanjaan one stop shopping ini. Reklame-reklame pusat perbelajaan yang menyuguhkan simbol kepercayaan diri dan gaya hidup masa kini menjadi sebuah imagologi bagi para konsumennya. Mal kini telah menjadi sebuah ikon yang diasosiasikan dengan tren terbaru, cita rasa tinggi, gengsi, modernitas, dan globalisasi. Pun, semua itu seolah wajib diikuti.

Hal ini tidak dapat diingkari. Dalam buku ‘Ectasy Gaya Hidup’ disebutkan bahwa masyarakat cenderung terserap dalam keperkasaan kebudayaan pop yang kian hegemonik dengan segala atributnya. Gaya hidup kini telah menjadi komoditas. Sayangnya, kebanyakan orang tampak lebih mementingkan “kulit” daripada “isi.” Disinilah muncul istilah hedonisme yang konon disebabkan perkembangan ekonomi yang pesat. Mungkin ini menjadi konsekuensi logis bagi tujuan perekonomian kita.

Mal memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Implikasi positif yang dimunculkan juga ada. Terserapnya tenaga kerja, pendapatan daerah yang melambung, atau meningkatnya investasi. Tapi ini tidak sebanding dengan implikasi negatif yang ditimbulkan. Kriminalitas, kemacetan yang pada ujungnya meningkatkan polusi, atau bahkan musnahnya pasar tradisional karena keberadaannya semakin terpinggirkan. Hal ini dibenarkan Agus Miftahus Surur, pengamat ekonomi dan peneliti dari Surabaya. “Inilah deretan implikasi dari sekian banyak persoalan yang cenderung mengutamakan kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Tujuan mensejahterakan masyarakat pun menjadi kabur. Mayoritas masyarakat Yogyakarta bergelut di sektor informal yang termasuk pula didalamnya pedagang kecil dan menengah. Apa untungnya masyarakat lokal Yogyakarta dengan bertambahnya mal. Yang justru bertambah banyak adalah dampak negatifnya. Sifat konsumtif masyarakat yang bertambah tinggi, tergesernya lahan-lahan publik (bahkan sebuah bangunan Sekolah Dasar dalam pembangunan Plaza Ambarukmo), dan bergugurannya pengusaha kecil karena tidak mampu bersaing. Pemerintah daerah (pemda) seharusnya bersikap melindungi masyarakat.

Pemda seharusnya waspada. Pertumbuhan mal-mal dapat mengurangi daya tarik wisata Yogyakarta. Yogyakarta sudah kadung terkenal dan dikenal akan budaya dan pendidikannya. Jika ingin menjadi pusat wisata belanja rasanya kurang tepat. Bersaing dengan Bandung yang sudah terkenal dengan factory outlet, jeans, dan produk sepatunya akan sulit. Apalagi jika dibandingkan dengan Orchad Road di Singapura. Yogyakarta lebih tepat jika dikembangkan sektor budaya dan pendidikannya. Kita bisa berkaca pada  Perancis. Bangunan-bangunan bergaya kuno di Perancis masih dipertahankan, museum-museum diperbaiki, pusat informasi pariwisata diperkaya, dan universitas-universitas dengan jurusan seni ditingkatkan kualitasnya. Hasilnya, bisa disaksikan dunia. Yogyakarta mungkin sebaiknya mengambil pelajaran dari Perancis. Hal ini sebenarnya sudah sering disampaikan banyak pihak. Sejumlah seniman pernah menentang pembangunan mal dengan menggelar performance art di beberapa tempat pada bulan Oktober 2004 lalu.

Investor mal pun sebenarnya sudah seharusnya waspada. Sudah benarkah mereka membuat sebuah studi kelayakan usaha? Perlu diingat bahwa Yogyakarta adalah sebuah daerah yang tidak terlalu luas. Disamping itu, pangsa pasar yang mereka bidik dirasa kurang tepat. Rata-rata pengunjung mal, yaitu pelajar dan mahasiswa adalah pengunjung yang sekedar ingin berekreasi (window shopping), bukan berbelanja.

Yang berperan sepenuhnya disini memang konsumen, konsumen memiliki hak istimewa untuk memilih mal atau menoleh kembali pada pasar tradisional?

Pasar Tradisional : Sebuah harapan
Suasana ‘Indonesia sebenarnya’ dapat dirasakan dalam sebuah pasar tradisional. Nuansa gemeinschaft (kebersamaan) dan kekeluargaan begitu melekat didalamnya.  Itulah isi dari sebuah pasar tradisional. Di Yogyakarta, terdapat banyak pasar tradisional yang memiliki corak khas tersendiri. Pasar Kranggan, Pasar Burung Ngasem, Pasar Sepeda Terban, bahkan pasar yang berjuang sendiri di tengah-tengah modernitas Malioboro, Pasar Beringharjo. Menurut data Dinas Pasar Kota Yogyakarta, ada 30 pasar tradisional yang masih eksis di kota ini, dengan total jumlah pedagang sebanyak 12.748 jiwa. Berdasarkan jumlah pedagang dan luas bangunan, lima pasar terbesar adalah; Pasar Beringharjo, Pasar Kranggan, Pasar Sentul, Pasar Giwangan, dan Pasar Kotagede. 

Dilihat dari akar historisnya, pasar tradisional menjadi salah satu fondasi bagi terbentuknya Kota Yogyakarta, sebenarnya dulu ada empat fondasi utama yang menyangga kota ini, yang sering dianalogikan dengan catur tunggal. Meliputi; kraton, alun-alun, pasar, dan masjid. Pasar tertua dan terbesar di kota ini adalah pasar Beringharjo, bahkan embrio pasar ini telah mengada sejak tahun 1758. Konon Pemerintah Hindia Belanda pernah memberi gelar pasar ini dengan sebutan “eender mooiste passers op Java,” artinya salah satu pasar terindah di Jawa.

Pasar tradisional menjadi salah satu alternatif masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari dengan harga yang relatif lebih murah. Untuk sebagian masyarakat, pasar tradisional bahkan dapat dijadikan tempat rekreasi untuk melepas kepenatan dalam kesibukan sehari-hari. Di pasar tradisional, interaksi antara penjual dan pembeli dapat berlangsung lebih akrab dan menawar harga suatu produk dapat memberikan kepuasan tertentu.

Jika dikelola dengan baik, tidak mustahil pasar tradisional akan mendatangkan keuntungan. Pasar tradisional dengan ciri khasnya bisa menjadi komoditas wisata yang pada akhirnya juga menguntungkan pemerintah daerah. Malah pasar tradisional dapat menjadi trade mark suatu kota. Artinya, mendengar nama pasar tradisional orang akan secara otomatis ingat kota di mana pasar itu berada. Misalnya Pasar Beringharjo, orang akan ingat kota Yogyakarta, atau Pasar Kumbasari, orang akan ingat Kota Denpasar. Karena itulah pasar tradisional dapat dijadikan salah satu atraksi wisata kota.

Namun, kita tak jarang mendengar sebutan becek, panas, sumpek, sempit, dan entah kata-kata berkonotasi negatif apalagi yang biasanya dicitrakan masyarakat umum terhadap sebuah pasar tradisional. Pasar tradisional memang memiliki keterbatasan fisik dan terkesan semrawut. Hal ini sebenarnya masih bisa diperbarui. Dalam permasalahan ini, menjadi tugas semua elemen untuk memperbaruinya. Pemerintah, masyarakat, dan penghuni pasar itu sendiri. Pasar tradisional sebaiknya mulai ditata, dirapikan, dan ditertibkan. Sebagai gambaran, Pasar Putih di Bukittinggi, Sumatera Barat. Disana, pasar ditata rapi, tempatnya bersih, pedagangnya ramah, nuansanya teduh, terkadang samar-samar terdengar alunan ayat suci yang dikumandangkan seorang tuna netra. Jauh dari kesemrawutan.

‘Isi’ memang menjadi sebuah keunggulan dari pasar tradisional yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Terlebih pasar modern.

Menilik pembangunan dan modernisasi di kota ini, jika tidak disikapi dengan bijaksana, tentunya akan menghilangkan identitas dan eksistensi budaya Yogyakarta. Sunarti, seorang sosiolog yang berhasil ditemui EQ mengungkapkan, “Apa jadinya jika kita lebih merasa bangga memakai produk luar negeri atau makan di restoran franchise, padahal mereka hanya menjual nama. Toh bahannya juga lokal, dikemasnya juga disini, yang beda kan cuma labelnya.”  Jika ditilik lebih lanjut memang ada benarnya. Apa bedanya kue yang dijual di mal dengan yang dijual di Pasar Kranggan, hanya tempat dan kemasannya bukan? Bahkan seringkali terjadi "outsourcing" oleh pihak Mal (khusunya untuk foodcourt) dengan mengambil makanan dari pedagang tradisional dan menjual dengan harga jauh lebih mahal. Ditinjau dari sisi positif, memang ada kesan membantu. Namun apa benar-benar membantu? Tidak ada perubahan kesejahteraan dari si pedagang meski jualannya dijual di etalase kaca.

Dualisme sektor modern dan tradisional adalah implikasi yang tidak bisa dihindarkan dalam sebuah pembangunan. Seiring perjalanannya, sektor tradisional sebagai sektor ekonomi rakyat akan selalu menjadi yang tergilas. Generasi muda bangsa diharapkan mampu menjadi sosok pejuang dan pembangun sektor ekonomi rakyat ini, yang kelak mampu mengangkat taraf hidup dan derajat masyarakat grass root. Mampu mengantar mereka ke kehidupan yang lebih baik, yaitu kesejahteraan dan kesetaraan.

ditulis Aries Setiadi, Andar Hermawan, dan DK

Tulisan berjudul asli "Dualisme Pasar di Kota Pelajar", diterbitkan pada majalah Equilibrium tahun 2004.

Photo terpasang adalah photo pasar Beringhardjo tahun 1910, saya temukan di sebuah folder komputer di warung internet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar