Selasa, 30 Agustus 2016

Stuned Journey 3.0: Maastricht School of Management 101




Suasana pagi hari di Maastricht School of Management (MSM) masih sangat sepi ketika saya masuk ke area lobby. Papan pengumuman dengan tanda panah penunjuk arah menjadi panduan untuk peserta kursus singkat. Executive Programme e-Government 3rd Floor.

Tampak tumpukan papan nama dan booklet panduan di ujung meja yang menyerupai huruf U. Peserta yang mulai berdatangan satu persatu mengambil papan nama masing-masing. Total peserta e-government short course terdiri dari 15 peserta yang berasal dari Indonesia, Irak, dan Yordania. Tiga orang Indonesia dan saya duduk berdampingan satu sama lain dalam satu lajur. Birds of a feather flock together.

Joris H.T. Stadhouders, Assistant Professor of Management Information Systems, membuka secara resmi e-government short course yang akan berjalan selama 3 minggu ke depan. Perkenalan tentang budaya Belanda dan pengalaman kerja dipaparkan Joris secara singkat. Dia meminta kami mencari teman bukan satu negara untuk berkenalan dan kemudian saling memperkenalkannya ke seluruh peserta di kelas. 

Nina dan saya di Gemeente Maastricht
Nina, peserta dari Kurdistan, menjadi rekan saya untuk sesi perkenalan ini. Dia berprofesi sebagai pengajar di Technical College of Informatics, Sulaimani Polytechnic University. “I thought you were Lorde,” ketika saya berjabat tangan dengannya. Penampilan Nina yang sangat casual, berambut pirang, gadget modern, memiliki tato di lengan, dan bahasa Inggris dengan aksen yang fasih hasil pendidikan di Inggris meruntuhkan stereotype media tentang perempuan di Irak. Dari dia saya mendapat penjelasan jika Kurdistan adalah bagian otonom khusus Irak dan Erbil, ibu kota Kurdistan, merupakan kota yang sangat modern dengan berbagai macam pertokoan mewah. Dengan antusias, Nina juga menjelaskan potensi wireless Body Area Network, teknologi yang memungkinkan kita mengimplan chip ke dalam tubuh dan menggunakannya sebagai pengakses teknologi. (please correct me if I am wrong interpreting her explanation!)
  
Joris, yang sudah bergabung bersama MSM sejak tahun 1990-an, menjelaskan jika MSM merupakan salah satu sekolah bisnis terbaik di Belanda dan sudah berdiri sejak tahun 1950-an. Selain executive programme berupa kursus singkat seperti yang kami ikuti, MSM juga memiliki program perkuliahan MBA, Master in Management, MSc in Engineering, juga program doktoral termasuk DBA. Program MBA MSM konon pernah menjadi peringkat 1 dalam sebuah survei sekolah bisnis di Belanda. Mahasiswa MSM sendiri datang dari berbagai latar belakang profesi dan telah menghasilkan lebih dari 20 ribu alumni yang tersebar di 120 negara. 
Sesi perkenalan pagi hari juga menjelaskan mengenai asuransi kesehatan selama program berjalan dan diikuti dengan rehat. Asuransi kesehatan hanya bisa digunakan dengan sistem rujukan pada dokter tertentu dan dengan perjanjian terlebih dahulu. Jika kita datang pada dokter bukan tertunjuk dan/atau tanpa perjanjian terjadwal, maka biaya kesehatan harus dibayar sendiri. Dalam obrolan ringan ketika rehat, Joris membicarakan pengalamannya ke Indonesia untuk riset bersama dengan Universitas Trisaksi. Dia juga menunjukan satu lembar kertas surat dengan salah satu hotel di Anyer yang pernah dikunjunginya.  

Dorus menerangkan letak Maastricht
Dorus Evekink, salah satu Program Manager di MSM, lalu  memberikan presentasi tentang Belanda dan kebudayaannya. Lebih kurang mirip dengan kelas akulturasi di Erasmus Huis. Beberapa fakta menarik tentang Belanda yang dipaparkan Dorus antara lain:
- Dataran tertinggi di Belanda, Vaals' Hill, hanya 322,5 meter di atas permukaan air laut (dpal) dan tempat favorit warga Maastricht untuk "mendaki" adalah Sint Pietersburg yang hanya 160-an meter dpal. That’s not even a hill!
- Di tahun 2014, menurut data Statistics Netherlands (CBS) populasi Belanda mencapai 16,9 juta dan terdapat lebih dari 18 juta sepeda. Sebanyak 750 ribu sepeda dilaporkan dicuri setiap tahunnya.
- Related to the ICT, 94% of the Dutch age 12-75 has access to a desktop and laptop, with 81% of them uses internet for banking, 95% for email, and 30% search for a job.

- blog terkait kelas akulturasi di Erasmus Huis dapat dibaca di Seluk Beluk Pendaftaran Beasiswa Stuned: Pengalaman -

Sesi pengenalan kemudian dilanjutkan dengan kunjungan ke perpustakaan dan fasilitas teknologi informasi. Dalam perjalanan dari kelas ke perpustakaan, kami berkenalan singkat dengan Professor Wim Naudé, Dean dari MSM, yang mengucapkan selamat datang kepada seluruh peserta dan menghimbau semua peserta untuk menikmati fasilitas di MSM. Perpustakaan MSM berukuran cukup mini dan memiliki lebih kurang 10 meja baca bersama---setiap meja bisa diduduki 4-6 orang. Salah satu meja di samping jendela dengan pemandangan taman menjadi spot paling menarik di perpustakaan itu. Sementara itu, buku-buku referensi tersusun rapi di beberapa lajur rak.

Ruang Laboratorium Komputer MSM
Fasilitas teknologi informasi yang berdampingan dengan perpustakaan menjadi tempat orientasi berikutnya. Di laboratorium komputer ini, kami diperkenalkan dengan sistem IT di Maastricht. Dengan perpustakaan yang mini dan buku referensi terbatas, jurnal elektronik rupanya menjadi sumber referensi utama untuk civitas MSM. Jurnal langganan yang terdaftar amat sangat representatif, tidak kalah dengan Columbia Universities Library Catalog. Setiap peserta e-government short coursemendapatkan ID masing-masing dan dapat digunakan selama 6 bulan (meski dalam broadcast email disebutkan bisa diakses selama 1 tahun).  

Download as many journal as you want while you’re here for your class or for your work later. Take advantage of the facility,” saran salah satu fasilitator IT MSM.

Sesi orientasi hari pertama di MSM berakhir pada sore hari. Selepas menyimpan tas di kamar, saya menyempatkan diri main-main ke Lidl, salah satu grocery store, sekitar 10 menit berjalan kaki dari Aparthotel Randwyck. Tampak sedang ada sale coklat di sana, tetapi kemudian saya ingat jika tas belanja reusable tertinggal di kamar. Sempat terpikir untuk mengambil tas dan kembali ke Lidl, tetapi toko tersebut tutup pukul 6 sore (kecuali hari Kamis, tutup pukul 8 malam). Batal lah saya berbelanja hari itu.

(to be continued)

Senin, 22 Agustus 2016

Stuned Journey 2.0: Mengenal Maastricht dan sekilas Maastricht Treaty



Ketika saya mengirim aplikasi untuk mengikuti  e-government short course di Maastricht School of Management (MSM), saya sama sekali tidak mengacuhkan di mana letak Maastricht di peta Belanda. Pertimbangan utama saat itu adalah materi kursus singkat yang menarik dan kemungkinan akan bermanfaatnya kursus tersebut untuk portofolio kerja saya. Setelah saya mendapatkan beasiswa Stuned, barulah saya mulai mencari tahu di mana MSM berada dan seluk beluk kota Maastricht selengkapnya.

- blog terkait pengalaman mengirim aplikasi untuk shortcourse dan beasiswa Stuned dapat dibaca di Seluk Beluk Pendaftaran Beasiswa Stuned: Pengalaman -

Kota Maastricht ternyata ada di ujung tenggara Belanda, berbatasan langsung dengan Jerman dan Belgia, dan merupakan ibu kota dari provinsi Limburg. Nama Maastricht sendiri berakar pada kata Maas, yang berarti sungai dalam bahasa Belanda. Kota kecil ini hanya berukuran 60 kilometer persegi dan dihuni sekitar 120 ribu penduduk. Menurut beberapa orang lokal, Maastricht merupakan salah satu kota pelajar di Belanda, sehingga banyak pula mahasiswa pendatang baik dari kota lain di Belanda dan Uni Eropa, maupun yang berasal dari negara lain diluar Eropa.

Setelah menempuh lebih dari 200 kilometer perjalanan dengan kereta dari Amsterdam, saya tiba di Stasiun Maastricht Randwyck. Sebuah stasiun mungil yang hanya memiliki dua lajur rel. Aparthotel Randwyck, yang menjadi domisili saya selama 3 minggu di Belanda, berada di seberang stasiun kereta ini. Sementara MSM dan beberapa fakultas Maastricht University berada tepat disamping Aparthotel Randwyck. Everything seems close and convenient in this country! :)

Petugas di lobby Aparthotel Randwyck kemudian memberikan sebuah bundel berisikan buku dan alat tulis serta satu bungkus paket “makan siang” berisikan buah-buahan, waffle, yoghurt, dan minuman ringan. Saya menempati kamar di lantai 3 dengan pemandangan ke arah taman. Kamar yang disediakan cukup luas dengan fasilitas tempat tidur double size, heater, lemari es, televisi, meja belajar, dan kamar mandi dalam. Mesin cuci, pengering, dan setrika ada di lantai basement. Sekali mencuci menggunakan satu koin khusus dikenakan biaya €6, jauh lebih mahal dari satu kali cuci dan pengeringan di Manhattan yang hanya dikenakan US$1.75-2.50 saja. Karena masih agak jetlag dan kelelahan pascajalan kaki di Amsterdam, saya tidak sempat jalan-jalan di hari pertama saya tiba di Maastricht.

- blog seputar jalan-jalan di Amsterdam dapat dibaca di Stuned Journey 1.0: Stopping by Amsterdam -

Minggu pagi, saya menyempatkan lari di seputaran apartemen. Dalam ‘pelarian’ ini saya kemudian mendapati kalau di atas stasiun kereta Maastricht Randwyck ada sebuah doner kebab halal, Musti Broodje. Tempat ini kemudian menjadi langganan saya selama 3 minggu di Maastricht. Satu kebab dengan french fries hanya dibandrol €4.5-€5 tergantung pada wrap-nya, apakah flatbread (mereka menyebutnya dürüm) atau bun seperti burger yang dibelah dan diisi daging dan sayuran. Yang enak dari kebab di doner ini adalah sayuran yang bisa customized, jadi bisa minta pickle dan jalapeno sepuasnya. It's nice, isn't it?

Pagi itu pula, seluruh peserta e-government short course diajak berjalan-jalan di seputaran Maastricht. Dengan dipandu seorang guide, kami mengawali perjalanan di Helpoort atau dalam bahasa Inggris berarti Hell’s Gate. Helpoort merupakan sebuah kompleks dinding kastil, gerbang, dan bangunan sisa abad pertengahan. Bisschopsmolen menjadi persinggahan kami yang kedua. Bisschopsmolen adalah sebuah kafe dengan nuansa klasik. Turbin air tua di depan kafe menambah suasana kota tua selama kami menikmati brunch di sana. Menu wajib di Bisschopsmolen adalah vlaai, sejenis American Pie dengan bermacam-macam filling-blueberry, strawberry, atau krim. Kopi dan berbagai jenis teh menjadi pendamping yang pas untuk menikmati vlaai. Joris, Assistant Professor of Management Information Systems, yang ikut jalan-jalan pagi itu menanyakan pendapat kami tentang rasa makanan di sana.

Lekker,” jawab saya.

Dia tersenyum.

Pemandu wisata kami kemudian menerka, "you are Indonesian, aren't you?"

Saya mengangguk.

"Do you use (the word) 'lekker' in Indonesia?" tanya dia lagi.

Kami pun berdiskusi singkat tentang bebagai persamaan bahasa Indonesia dan bahasa Belanda yang ada. Seorang peserta kursus dari Irak menanyakan mengapa ada banyak persamaan bahasa antara Indonesia dan Belanda. Saya menjawab karena kolonialisasi, sementara Joris menjawab, “commerce in the old centuries.” Awkward hehehe.

Jalan-jalan hari itu dilanjutkan ke gereja Basilica of Our Lady, atau warga setempat menyebutnya Onze Lieve Vrouw "Sterre der Zee" Basiliek. Selepas menikmati syahdunya nuansa gereja yang diterangi lilin-lilin, perjalanan kami dilanjutkan ke gereja St. John, atau Janserk, yang merupakan salah satu landmark popular kota Maastricht di area Market Square. Dibedakan dengan menara warna merah bata yang menjulang tinggi, gereja bergaya gothic ini adalah sebuah bangunan peninggalan abad ke-15 yang masih terawat dengan baik. Tepat disebelah gereja St. John, terdapat pula Sint Servaasbasiliek atau Basilica of Saint Servatius.

Ohya, kami juga sempat melewati jembatan yang berada di atas sungai Meuse, atau Maas dalam bahasa Belanda, ikon kota Maastricht. Dari jembatan ini, terlihat bangunan Gouvernement. Sekilas info, Gouvernement adalah tempat bersejarah di mana Maastricht Treaty ditandatangani pada tahun 1982 dan menjadi cikal bakal Euro. Bagi pemerhati Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Maastricht Treaty ini dikenal karena kebijakannya yang mengharuskan setiap negara anggota Euro untuk menjaga “sound fiscal policies, with debt limited to 60% of GDP and annual deficits no greater than 3% of GDP.” Kebijakan terkait defisit anggaran dan rasio utang inilah yang diadaptasi oleh Indonesia dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jalan-jalan yang edukatif, bukan?!

Perjalanan bersama para peserta e-government short course hari itu diakhiri di Market Square. Kami pulang masing-masing ke apartemen. Saya dan peserta dari Indonesia mampir sebentar ke Albert Heijn untuk membeli beberapa makanan pokok seperti roti, selai, dan buah-buahan.



(to be continued)

Stuned Journey 1.0: Stopping by Amsterdam



What are you going to do in Netherlands?

I’m taking a short course in Maastricht.

How long are you going to stay?

Three weeks.

Petugas imigrasi di Schiphol airport itu kemudian membubuhkan cap di paspor saya.

Selamat datang, ucapnya dengan aksen asing.

Sapaan yang akrab ditelinga itu membuat saya tersenyum lebar. Lega. Mimpi buruk mendapatkan “random check” di bandara pupus sudah. Jujur saja, setelah bekali-kali mendapatkan pemeriksaan tambahan yang konon katanya acak di berbagai bandara, mulai dari JFK, Jomo Kenyatta, Heathrow, Frankfurt, Dubai, Changi, hingga Cancun (so, random? I doubt it!), saya seringkali was-was ketika harus melewati imigrasi internasional. Lolos dari tambahan pemeriksaan ditambah sapaan dalam bahasa Indonesia tentunya menjadi awal menyenangkan dari perjalanan saya di Belanda.

Saya terbang berbarengan ke Belanda bersama 3 penerima fellowship Stuned dari Indonesia lainnya dengan Malaysia Airlines. Sekilas tentang Malaysia Airlines, pada saat itu, banyak peserta Stuned dari Indonesia khawatir jika harus terbang dengan maskapai penerbangan tersebut. Pada saat itu, peristiwa hilangnya pesawat MH-370 di perairan timur Malaysia dan dan jatuhnya pesawat penerbangan MH-17 di Ukraina masih cukup hangat dibicarakan media. Pengalaman saya terbang saat itu cukup aman dan nyaman. Pramugari yang melayani pun sangat ramah. Dalam perjalanan Kuala Lumpur-Amsterdam dan sebaliknya, mereka dengan senang hati membawakan saya ginger ale meski harus bolak-balik ke dapur pesawat.

- blog terkait pengalaman mengirim aplikasi untuk shortcourse dan beasiswa Stuned dapat dibaca di Seluk Beluk Pendaftaran Beasiswa Stuned: Pengalaman -

Pesawat mendarat di Schiphol sekitar pukul 6 pagi setelah melewati 12 jam perjalanan dari Kuala Lumpur. Kami berempat mengikuti e-government short course di Maastricht School of Management. Mbak Inge, Tomi, dan saya---kebetulan juga kami bertiga bekerja di satu Kementerian yang sama meski berbeda unit---memutuskan untuk jalan-jalan dulu di Amsterdam sebelum meneruskan perjalanan lanjutan dengan kereta menuju Maastricht. Sementara satu peserta lain yang kebetulan pernah kuliah di Belanda memutuskan untuk pergi terlebih dahulu.

Di lantai dasar Schiphol, kami membeli kartu telepon nomor lokal Lebara seharga €20 berisi pulsa telepon setara €10 dan paket internet 1 Gb. Penggantian kartu juga bisa dibantu oleh si penjual kartu. Gratis! Kami bertiga kemudian menitipkan koper kami di loker yang ada di bandara Schiphol. Karena ada 3 koper besar dan 2 tas ransel, kami menyewa 1 loker besar seharga €11.50 per 24 jam. Pembayarannya menggunakan kartu kredit. Di Schiphol pula kami kemudian membeli kartu akses kereta dan bis OV Chipkaart seharga €7.5 dan bisa diisi dengan bebas. Saya isi €22.5 untuk jaga-jaga. Sementara itu, tiket kereta dari Amsterdam ke Maastricht seharga €23 saya beli terpisah dengan tiket one way (tidak dapat diisi ulang) karena perlu diserahkan ke manajemen Maastricht School of Management untuk proses reimbursement.

Suhu udara Amsterdam pagi hari di awal Oktober ternyata cukup dingin. Saat kami berfoto-foto di depan tulisan “I amsterdam” di depan Schiphol, mulut saya mengeluarkan uap ketika berbicara dan kemudian mengingatkan saya pada musim dingin di Manhattan (duh!).    

Dari Schiphol, kami bersegera ke "pusat kota" Amsterdam dengan kereta bawah tanah. Saya mengambil tujuan agak ujung ke sekitaran Amsterdam Centraal . Lalu kami berjalan menyusuri pinggiran kanal. Sebuah restoran halal menarik perhatian mata (dan tentunya perut) kami. Satu porsi salad, french fries, dan daging asap plus satu kaleng minute maid dihargai €9. Meski udara dingin, kami tetap memutuskan makan sambil nongkrong di luar. Toko souvenir di sebelah tempat makan menjadi tempat persinggahan kedua kami. Mbak Inge dan Tomi langsung memborong beberapa magnet, sementara saya membeli kartu pos dan prangko

Suasana di Dam Square sudah mulai ramai ketika kami sampai di sana. Terlihat banyak turis berkunjung dan berfoto-foto. Dam Square ini seperti alun-alun kota, yang dikelilingi oleh Koninkilk Paleis (Royal Palace) Amsterdam, Nationaal Monument, dan Nieuwe Kerk---sebuah gereja megah yang kini dipakai sebagai tempat pameran seni. Dam square juga dikeliling tempat turisme lainnya, seperti Madame Tussaud, dan berbagai pusat perbelanjaan. Salah satu pusat perbelanjaan yang kami kunjungi adalah Magna Plaza, dengan tujuan numpang buang air kecil. Di Belanda, dan kelak kemudian juga saya temui di Belgia dan Perancis, penggunaan kamar kecil dikenakan biaya sekali masuk €1. Hmmm, pantas di Indonesia juga kamar kecil berbayar, tampaknya masih sisa budaya penjajahan Belanda hahaha.

Dengan tram, kami kemudian mengunjungi Rijksmuseum. Di depan museum ini lah tulisan “I amsterdam” yang asli berada. Berbeda dengan di Schiphol yang sepi, turis-turis berebutan berfoto di sana. By the way, Rijksmuseum dapat dikunjungi baik tanpa tiket maupun dengan tiket, tetapi area yang dapat dilihat tentunya sangat amat terbatas jika tanpa tiket. Di seputaran area tersebut, terdapat pula museum-museum lain seperti museum Van Gogh dan museum Stedelijk yang berisikan koleksi seni modern dan kontemporer. Antrian ke museum-museum ini cukup panjang, jadi pastikan membeli tiket secara online terlebih dahulu.



Matahari yang sudah mulai naik membuat suhu Amsterdam menjadi lebih hangat dan enak untuk jalan-jalan. Kami berjalan kaki melewati taman kota yang luas dan menyusuri pinggir kanal melewati Hard Rock Café dan juga Holand Casino. Sementara itu, perahu-perahu berisikan turis-turis terus lalu lalang.

Menjelang siang, kami memutuskan kembali ke Schiphol, mengambil koper, dan kemudian meneruskan penjalanan ke Maastricht. Perjalanan Amsterdam-Maastricht melalui kereta menempuh waktu lebih kurang 3 jam perjalanan dengan satu kali transit di Sittard. Sama halnya dengan di Indonesia, kereta antar kota di Belanda juga menganut kelas 1 dan kelas 2, atau sejenis Eksekutif dan Bisnis, yang dibedakan oleh besarnya kursi, jadi cek kembali apakah tiket kita sudah sesuai dengan gerbong kereta yang kita tempati atau bukan.

(to be continued to Stuned Journey 2.0: Mengenal Maastricht dan sekilas Maastricht Treaty)