Senin, 22 Agustus 2016

Stuned Journey 1.0: Stopping by Amsterdam



What are you going to do in Netherlands?

I’m taking a short course in Maastricht.

How long are you going to stay?

Three weeks.

Petugas imigrasi di Schiphol airport itu kemudian membubuhkan cap di paspor saya.

Selamat datang, ucapnya dengan aksen asing.

Sapaan yang akrab ditelinga itu membuat saya tersenyum lebar. Lega. Mimpi buruk mendapatkan “random check” di bandara pupus sudah. Jujur saja, setelah bekali-kali mendapatkan pemeriksaan tambahan yang konon katanya acak di berbagai bandara, mulai dari JFK, Jomo Kenyatta, Heathrow, Frankfurt, Dubai, Changi, hingga Cancun (so, random? I doubt it!), saya seringkali was-was ketika harus melewati imigrasi internasional. Lolos dari tambahan pemeriksaan ditambah sapaan dalam bahasa Indonesia tentunya menjadi awal menyenangkan dari perjalanan saya di Belanda.

Saya terbang berbarengan ke Belanda bersama 3 penerima fellowship Stuned dari Indonesia lainnya dengan Malaysia Airlines. Sekilas tentang Malaysia Airlines, pada saat itu, banyak peserta Stuned dari Indonesia khawatir jika harus terbang dengan maskapai penerbangan tersebut. Pada saat itu, peristiwa hilangnya pesawat MH-370 di perairan timur Malaysia dan dan jatuhnya pesawat penerbangan MH-17 di Ukraina masih cukup hangat dibicarakan media. Pengalaman saya terbang saat itu cukup aman dan nyaman. Pramugari yang melayani pun sangat ramah. Dalam perjalanan Kuala Lumpur-Amsterdam dan sebaliknya, mereka dengan senang hati membawakan saya ginger ale meski harus bolak-balik ke dapur pesawat.

- blog terkait pengalaman mengirim aplikasi untuk shortcourse dan beasiswa Stuned dapat dibaca di Seluk Beluk Pendaftaran Beasiswa Stuned: Pengalaman -

Pesawat mendarat di Schiphol sekitar pukul 6 pagi setelah melewati 12 jam perjalanan dari Kuala Lumpur. Kami berempat mengikuti e-government short course di Maastricht School of Management. Mbak Inge, Tomi, dan saya---kebetulan juga kami bertiga bekerja di satu Kementerian yang sama meski berbeda unit---memutuskan untuk jalan-jalan dulu di Amsterdam sebelum meneruskan perjalanan lanjutan dengan kereta menuju Maastricht. Sementara satu peserta lain yang kebetulan pernah kuliah di Belanda memutuskan untuk pergi terlebih dahulu.

Di lantai dasar Schiphol, kami membeli kartu telepon nomor lokal Lebara seharga €20 berisi pulsa telepon setara €10 dan paket internet 1 Gb. Penggantian kartu juga bisa dibantu oleh si penjual kartu. Gratis! Kami bertiga kemudian menitipkan koper kami di loker yang ada di bandara Schiphol. Karena ada 3 koper besar dan 2 tas ransel, kami menyewa 1 loker besar seharga €11.50 per 24 jam. Pembayarannya menggunakan kartu kredit. Di Schiphol pula kami kemudian membeli kartu akses kereta dan bis OV Chipkaart seharga €7.5 dan bisa diisi dengan bebas. Saya isi €22.5 untuk jaga-jaga. Sementara itu, tiket kereta dari Amsterdam ke Maastricht seharga €23 saya beli terpisah dengan tiket one way (tidak dapat diisi ulang) karena perlu diserahkan ke manajemen Maastricht School of Management untuk proses reimbursement.

Suhu udara Amsterdam pagi hari di awal Oktober ternyata cukup dingin. Saat kami berfoto-foto di depan tulisan “I amsterdam” di depan Schiphol, mulut saya mengeluarkan uap ketika berbicara dan kemudian mengingatkan saya pada musim dingin di Manhattan (duh!).    

Dari Schiphol, kami bersegera ke "pusat kota" Amsterdam dengan kereta bawah tanah. Saya mengambil tujuan agak ujung ke sekitaran Amsterdam Centraal . Lalu kami berjalan menyusuri pinggiran kanal. Sebuah restoran halal menarik perhatian mata (dan tentunya perut) kami. Satu porsi salad, french fries, dan daging asap plus satu kaleng minute maid dihargai €9. Meski udara dingin, kami tetap memutuskan makan sambil nongkrong di luar. Toko souvenir di sebelah tempat makan menjadi tempat persinggahan kedua kami. Mbak Inge dan Tomi langsung memborong beberapa magnet, sementara saya membeli kartu pos dan prangko

Suasana di Dam Square sudah mulai ramai ketika kami sampai di sana. Terlihat banyak turis berkunjung dan berfoto-foto. Dam Square ini seperti alun-alun kota, yang dikelilingi oleh Koninkilk Paleis (Royal Palace) Amsterdam, Nationaal Monument, dan Nieuwe Kerk---sebuah gereja megah yang kini dipakai sebagai tempat pameran seni. Dam square juga dikeliling tempat turisme lainnya, seperti Madame Tussaud, dan berbagai pusat perbelanjaan. Salah satu pusat perbelanjaan yang kami kunjungi adalah Magna Plaza, dengan tujuan numpang buang air kecil. Di Belanda, dan kelak kemudian juga saya temui di Belgia dan Perancis, penggunaan kamar kecil dikenakan biaya sekali masuk €1. Hmmm, pantas di Indonesia juga kamar kecil berbayar, tampaknya masih sisa budaya penjajahan Belanda hahaha.

Dengan tram, kami kemudian mengunjungi Rijksmuseum. Di depan museum ini lah tulisan “I amsterdam” yang asli berada. Berbeda dengan di Schiphol yang sepi, turis-turis berebutan berfoto di sana. By the way, Rijksmuseum dapat dikunjungi baik tanpa tiket maupun dengan tiket, tetapi area yang dapat dilihat tentunya sangat amat terbatas jika tanpa tiket. Di seputaran area tersebut, terdapat pula museum-museum lain seperti museum Van Gogh dan museum Stedelijk yang berisikan koleksi seni modern dan kontemporer. Antrian ke museum-museum ini cukup panjang, jadi pastikan membeli tiket secara online terlebih dahulu.



Matahari yang sudah mulai naik membuat suhu Amsterdam menjadi lebih hangat dan enak untuk jalan-jalan. Kami berjalan kaki melewati taman kota yang luas dan menyusuri pinggir kanal melewati Hard Rock Café dan juga Holand Casino. Sementara itu, perahu-perahu berisikan turis-turis terus lalu lalang.

Menjelang siang, kami memutuskan kembali ke Schiphol, mengambil koper, dan kemudian meneruskan penjalanan ke Maastricht. Perjalanan Amsterdam-Maastricht melalui kereta menempuh waktu lebih kurang 3 jam perjalanan dengan satu kali transit di Sittard. Sama halnya dengan di Indonesia, kereta antar kota di Belanda juga menganut kelas 1 dan kelas 2, atau sejenis Eksekutif dan Bisnis, yang dibedakan oleh besarnya kursi, jadi cek kembali apakah tiket kita sudah sesuai dengan gerbong kereta yang kita tempati atau bukan.

(to be continued to Stuned Journey 2.0: Mengenal Maastricht dan sekilas Maastricht Treaty)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar