
09.53 tik tok.
Stasiun Tugu, Yogyakarta.
Jam
yang bulat besar menggantung itu sudah menunjukan angka yang sama
dengan waktu keberangkatan yang tertera di tiket, tapi deretan gerbong
kereta dengan lokomotifnya belum juga nampak. Derunya pun belum
terdengar. Sementara saya sudah menunggu setengah jam karena khawatir
akan tertinggal. Kalau tahu akan begini lebih baik saya datang
terlambat. Saya menggerutu sendiri.
Saya memandangi stasiun utama
kota bakpia ini. Menatap atap-atapnya yang terkesan ringkih. Memandang
orang-orang yang berlalu lalang. Memandang penjual-penjual yang berjalan
menjajakan dagangannya lengkap dengan senyuman. Senyuman.
“Senyuman kamu.”
“Ada apa dengan senyuman aku?”
“Entah. Ada semacam perasaan senang saat aku melihat senyuman kamu.”
“Mungkin kamu jatuh cinta sama aku.”
Aku mengangguk, tak terlalu dalam, tapi kemudian menyela, “enggak.”
“Mengapa enggak?”
“Kamu ngomong apa sih? Pindah topik saja, ya.”
“Ha ha ha…”
Saya
tersenyum sendiri di titik yang menjadi gerbang keluar dan menuju Kota
Budaya ini. Saya tersenyum sendiri di antara orang-orang yang sibuk
hiruk pikuk. Saya tersenyum sendiri mengingat masa lugu saya. Saya
teringat senyumannya. Seandainya saya sempat bertemu dia dahulu. Tapi di
mana ia? Mengapa sampai sekarang dia belum menghubungi saya?
10.21 tik tok.
Seorang
petugas PT Kereta Api Indonesia dengan pengeras suaranya mengumumkan
kedatangan Kereta Lodaya yang sudah saya tunggu sejak satu jam lalu.
Saya menghembus napas dengan berat. Inilah resiko yang harus ditanggung
jika memilih moda transportasi umum milik pemerintah tercinta. Terlambat
adalah hal biasa. Waktu tidak ada harganya. Padahal bagi saya dan dia
waktu sangatlah berharga.
Saya menaiki kereta, langsung menuju
kursi 3D di gerbong eksekutif 2. Kereta terlihat lengang, mungkin karena
bukan akhir pekan atau saat liburan. Hanya ada sekitar 12 penumpang
termasuk saya. Satu keluarga yang terdiri dari 4 orang: Ayah, Ibu, dan 2
anak yang lucu. Program keluarga berencana yang berhasil. Saya
tersenyum simpul melihat mereka. Sisa penumpang adalah individu-individu
yang kemudian sibuk dengan telepon selularnya masing-masing. Barangkali
mengabarkan keberangkatan mereka pada keluarga atau istri atau suami
tercinta.
Saya melihat telepon selular saya. Memandangi layarnya.
Tidak ada pesan ataupun panggilan tak terjawab. Saya menanti pesan dan
panggilan dari ia.
“Besok saya telepon dulu.”
“Tapi kamu jangan lupa lagi.”
“Nggak, dong.”
“Dulu juga kamu lupa.”
“Aku kan sudah minta maaf.”
“Bagas, waktu kita untuk bertemu terbatas. Aku enggak mau kalau ada kesempatan yang terlewat.”
“Aku juga begitu, tapi kamu juga harus memahami keadaan aku.”
Begitu
mudahnya kamu meminta aku memahami keadaan kamu, Bagas. Tidak kah kamu
berpikir untuk memahami keadaan aku? Aku yang harus menempuh jarak 388
kilometer. Aku yang harus meninggalkan urusan kerja. Aku yang harus
mengarang berbagai cerita sebagai alasan. Semua demi bertemu denganmu.
Memahami
keadaanmu sama saja dengan aku memaksa diriku untuk memahami keadaanku.
Keadaan yang bukan keinginanku. Tapi apa hendak dikata.
Saya
menepis bayangan pertengkaran-pertengkaran saya dengan dia. Pertengkaran
yang selalu saja berkutat pada pokok permasalahan yang sama:
terbatasnya waktu saya, terbatasnya waktu dia, dan terbatasnya ruang
untuk kami berdua bersua.
Kereta mulai berjalan. Di luar jendela
terlihat orang-orang melambaikan tangan tanda perpisahan pada
orang-orang tercintanya. Ah, seandainya dia ada.
***
Pukul
sebelas lebih enam menit, kereta baru sampai Wates. Belum ada pesan
singkat ataupun panggilan dari dia di telepon selular saya. Padahal saya
benar-benar menantinya.
Saya melamunkan dia. Saya melamunkan Wates.
Saya melamunkan gula. Saya masih ingat ketika ia mengajak saya
jalan-jalan di suatu siang.
“Mau ke mana?”
“Wates.”
“Ngapain?”
“Beli gula.”
Saya tertawa. Saya kira dia bercanda. Tapi saya naik saja ke mobilnya.
Sepanjang
perjalanan, dia berceloteh tentang dosennya. Dosen yang selalu merasa
paling benar. Dosen yang merasa paling pintar. Dia kemudian
berargumentasi betapa banyaknya tenaga pengajar di kampus yang jauh dari
standar. Mengajarkan banyak rumus tanpa tahu penerapannya di dunia
nyata.
Saya hanya mendengarkan saja. Saya baru setengah tahun
duduk dibangku kuliah dan belum pantas menilai dosen-dosen saya.
Sementara dia sudah dua tahun dan dikagumi banyak temannya karena
kepintarannya. Saya juga kagum padanya.
Kemudian mobil kami menepi di sebuah tempat makan. Dia mengajak saya turun.
“Ini tempat beli gulanya,” ujarnya.
“Apa?”
Kemudian dia bertanya pada pramusaji. Membeli 1 kilogram gula batu.
Saya tertawa. “Serius beli gula?”
Dia menganggukan kepalanya, tanda mengiyakan.
“Mengapa harus sejauh ini untuk membeli gula?” selidik saya.
“Ibuku dulu selalu membeli gula dari sini dan aku suka rasanya.”
“Bukannya semua gula sama saja?”
“Manisnya gula sini beda.”
“Masa?”
“Kamu harus coba.”
Saya mengangguk.
Kami
kembali ke mobilnya. Kembali ke Yogya. Kembali ke rumah yang dia
tempati sendiri. Dia anak tunggal dan kedua orangtuanya meninggal karena
kecelakaan. Kejadian yang membuat dia mandiri. Salah satu sifat yang
membuat saya lebih kagum padanya.
Saya membantunya membuat teh
manis di dapur. Dia memecah gula yang tadi dibeli dan mencelupkannya ke
dalam teh panas yang telah saya seduh. Saya membawanya ke ruang tengah.
Dia menyalakan televisi dan kemudian duduk di samping saya.
Dia
memainkan gula batu yang mengapung di atas gelas dengan sendoknya. Saya
memperhatikannya dengan seksama. Dia kemudian menatap saya. Saya
tersipu.
“Coba,” ujarnya sembari menyodorkan gelas pada saya.
Saya menerimanya dan meminumnya pelan-pelan.
“Manis?”
Saya mengangguk.
“Tuh kan. Apa aku bilang?!”
Saya tersenyum.
Dia tersenyum. Manis. Lebih manis dari rasa teh yang baru saja saya minum.
Saya merasakan sebuah perasaan lagi padanya. Kali ini lebih dari sekedar kagum. Kemudian saya yakini sebagai cinta.
Perasaan
itu terus tumbuh hingga saat ini. Saat sebuah stasiun kecil dengan
papan biru menggantung bertuliskan Kutoarjo baru saja terlewati. Saat
kereta api yang saya tumpangi terus melaju dengan derunya yang khas.
Saat saya masih menanti kabar darinya sementara jarak semakin jauh
memisahkan dia dari saya.
Telepon selular saya belum menerima
pesan ataupun panggilan seharian ini. Saya memasang ear-phone dan mulai
mendengarkan lagu. Mata saya terpejam tapi bayangan saya masih
mengambang.
Tempo lagu yang lambat menghanyutkan perasaan saya. Saya benci perasaan melankolis seperti ini.
***
“Kadang aku lelah harus seperti ini.”
“Aku juga.”
“Tapi bagi aku, bertemu kamu menghilangkan semua lelah yang harus aku jalani demi bertemu kamu.”
“Aku juga.”
“Kamu bohong.”
“Sungguh.”
“Sungguh?”
“Iya.”
“Benar?”
Dia kemudian menghampiri saya, mendongakkan dagu saya, dan mencium bibir saya. Lembut.
Saya
kemudian bermanja-manja. Memegang bahunya yang bidang dan menelusuri
lengannnya hingga akhirnya meremas jemarinya yang kokoh. Saya lalu
merajuk dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan retoris: “Kamu cinta
aku?”
Dia mengangguk.
“Dengan segala kekurangan aku?”
Dia mengangguk.
“Dengan tulus?”
Dia mengangguk dan memeluk tubuh saya.
Saya
menunduk. Memperhatikan detik pada jam yang melingkar di pergelangan
lengan kiri saya. Waktu menunjukan pukul empat belas lebih empat puluh
menit. Kereta sedang berhenti di stasiun Banjar. Saya sudah melewati dua
propinsi: Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Suasana di luar kereta
nampak panas. Sinar matahari terlihat terik. Saya bersyukur berada dalam
kereta dengan pendingin udara yang membuat saya nyaman. Empat jam lebih
sudah saya berada dalam kereta. Pikiran saya sudah lelah mengingat
semua kenangan tentang saya dan dia. Rasanya saya ingin tidur dahulu.
***
Malam melarut. Bunyi alam melangut. Kami, saya dan dia, berbicang di kamar yang kami sewa di kawasan Malioboro.
“Kamu jadi pulang Kamis pagi?”
Saya mengangguk.
“Mau aku antar sampai stasiun?”
“Kamu bisa?”
“Aku bisa. Kamu naik kereta pukul berapa?”
“Sekitar pukul 10.”
“Oke, kalau begitu aku berangkat pukul 9 saja, sekalian ngantor.”
Saya mulai merajuk lagi. “Jadi kamu mau ngantar aku atau kerja?”
Dia tersenyum dan mengedipkan mata kirinya.
Kami
tertawa, tapi kemudian kami bertengkar. Pertengkaran yang selalu saja
berkutat pada pokok permasalahan yang sama: terbatasnya waktu saya,
terbatasnya waktu dia, dan terbatasnya ruang untuk kami berdua bersua.
Dia terdiam.
Saya terdiam.
Hening.
“Bagaimana rasanya setelah menikah?”
Dia tersenyum kecut.
“Bagaimana kabar istri kamu?”
“Kabar suami kamu?”
“Kamu belum jawab pertanyaanku!” saya ketus.
“Aku malas menjawabnya. Bagaimana perasaan kamu saat aku tanya kabar suamimu?” nada suaranya mendadak meninggi.
Saya diam.
“Begitulah juga perasaanku,” ucapnya pelan.
Saya memalingkan muka, menatap lukisan yang menempel di tembok. Lukisan seorang anak yang tersenyum polos.
“Pernikahan
yang dipaksakan sungguh tidak mengenakan. Seandainya orangtuaku belum
meninggal, aku pasti minta untuk tidak menikahinya. Aku pasti menikahi
kamu, Laras.”
Saya tersenyum kecut. Saya juga merasakannya, batin saya.
***
17.27 tik tok.
Pengumuman
di kereta membangunkan saya. Rangkaian gerbong besi ini sudah sampai di
Stasiun Kiaracondong, sebentar lagi akan sampai di Stasiun Bandung.
Saya
membereskan barang-barang saya, merapikan pakaian dan rambut saya.
Terdapat sebuah pesan singkat pada telepon selular saya. Saya jadi
penasaran.
Pesan itu ternyata datang dari suami saya. Mengabarkan
ia akan menjemput saya di stasiun. Saya senang, tapi akan lebih senang
jika seseorang yang saya cintai yang mengirimkannya.
Kereta sudah sampai. Bergegas saya menjinjing koper kecil saya dan turun dari kereta.
Suami saya sudah duduk menunggu di kursi dekat restoran cepat saji. Ia tersenyum lega melihat saya melambaikan tangan.
Saya menghampiri dan memeluknya.
“Bagaimana acara pernikahan teman kamu?”
“Lancar,” jawab saya pendek.
“Jadi reuni?”
Saya
mengangguk. “Pulang yuk?! Badanku udah lengket.” Saya berusaha
mengalihkan perhatiannya. Saya malas untuk berbohong banyak. Saya malas
mengarang cerita.
18.06 tik tok.
1 Pesan Baru. Isinya: Maaf tadi nggak jadi ke stasiun. Istriku mendadak mengeluh pusing dan minta diantar ke dokter. Luv, Bagas.
(*)
Diterbitkan dalam
Majalah Femina No. 41/XXXVI 16-22 Oktober 2008