Kamis, 21 Oktober 2010

Titik Nol


Sejak setahun setelah bekerja, saya sebenarnya sudah mencari-cari peluang beasiswa. Pekerjaan yang (pada saat itu) agak overloaded membuat saya agak kurang betah. Saat itu saya sebagai staf konsolidasi penganggaran belanja Kementerian/Lembaga yang mengkompilasi (saat itu )74 K/L dilihat dari sisi per sumber dananya, per jenis belanjanya, per fungsinya, per programnya,  per kegiatannya, dan semua itu jumlahnya harus tepat sama bahkan hingga ke satuan rupiahnya. Belum lagi kompilasi angka-angka belanja tematis seperti penanggulangan kemiskinan, infrastruktur, perubahan iklim, hingga anggaran berbasis gender.

Sempat dalam satu malam, kira-kira pukul 7 malam, tiba-tiba Pak Direktur atas instruksi Staf Ahli Presiden meminta anggaran “Penelitian dan Pengambangan” dan harus bisa dirumuskan dalam kurang setengah jam! Ditambah pula, ada tim yang harus mengumpulkan data-data historis selama 5-10 tahun ke belakang dan disatukan dalam satu buku dan saya kebagian jadi kompilatornya. Dooh, stressful!

Saking nggak terlalu betah, sempat juga daftar kerja ke tempat lain he he he. Tapi ternyata bukan rezeki saya. Untungnya kantor yang ada di area Lapangan Banteng, dekat dengan gedung Aminef yang  (tahun 2009-2010an masih) berlokasi di gedung Balai Pustaka, Gunung Sahari. Bersama dengan Nurul, teman SMA yang bekerja di Kementerian Pendidikan Nasional, yang tempat kerjanya bersebelahan dengan Balai Pustaka, kami nekat datang ke Aminef bertanya tentang beasiswa.

Orang di Aminef lebih merekomendasikan kami membuka website-nya sih. Dan menurut salah satu mas-mas yang ada saat itu hanya bilang kalau melamar beasiswa harus disiapkan, jangan sekedar ‘nothing to lose!’ karena bisa ‘lose’ beneran. Menurut dia juga, katanya pengalaman kerja itu penting. Dua atau tiga tahun pengalaman diperlukan sebagai pertimbangan untuk beasiswa Fullbright. Tapi menurut Ibu Antje, salah satu konselor EducationUSA Indonesia aka Aminef, ketika bertemu beliau awal tahun 2012an lalu, katanya saat ini fresh graduate pun bisa melamar langsung.

Pihak SDM kantor saya ternyata hanya mengizinkan pegawai untuk bisa kembali studi adalah 2 tahun sejak bekerja. Sempat ada perdebatan, apakah dihitung sejak awal bekerja sebagai CPNS atau setelah menjadi PNS. Untunglah keputusan akhirnya adalah dihitung sejak awal bekerja. Baiknya pihak SDM saat itu juga karena semua pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran, sempat diikutsertakan test TOEFL institusional di LIB UI pada Desember 2009. Sehingga, kami punya skor TOEFL sebagai modal awal.

Saat itu, lowongan beasiswa ADS datang disekitar bulan Maret atau April. Teman saya, Hanie, melamar (dan kemudian lolos berkuliah di ANU). Saya sempat pengen juga, tapi karena mepet dan pekerjaan saya yang memang overload jadi membuat saya sulit mengejar semua persyaratan hingga batas waktu. Mungkin karena malas juga sih sebenarnya he he he. Untungnya bersamaan dengan itu pendaftaran beasiswa PPSDM BPPK dibuka. Daftarlah saya! Sejak itulah, titik nol kilometer petualangan beasiswa mulai dijajaki.

Beberapa cerita lainnya akan saya coba unggah ke blog ini secara bertahap. Semoga sharing pengalaman ini bisa bermanfaat. Semoga pula Allah swt menghindarkan saya dari niatan riya dan takabur dalam menuliskannya. :)

picture courtesy of Inspirasi Pagi

Jumat, 01 Januari 2010

Dualisme Pasar di Kota Pelajar





Pulang ke kotamu..ada setangkup haru dalam rindu..masih seperti dulu..tiap sudut menyapaku bersahabat..
(Katon Bagaskara dalam cuplikan lagu Yogyakarta).

Sebait lirik lagu diatas adalah lukisan kekaguman Sang Musisi terhadap Yogyakarta yang sering dijuluki sebagai kota budaya dan kota pelajar, bagi orang-orang yang tinggal di kota ini atau bagi yang hanya sekedar singgah, tentunya akan merasakan kesan yang serupa. Aura dan nuansa budaya tradisional di kota ini dulunya begitu mengendap dalam benak siapa saja yang ada didalamnya. Tetapi seiring waktu berjalan, sisi-sisi tradisional mulai semakin ditinggalkan. Apa gerangan yang terjadi di kota ini?

Tak dapat dipungkiri jika kini Yogyakarta semakin tidak jauh beda dengan Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Jalanan semakin macet, polusi  yang melebihi ambang batas,  ratusan papan iklan yang angkuh menghiasi sepanjang jalan, dan beberapa mal megah mulai menggeser keberadaan sisi tradisionalitas Yogyakarta. Seperti sebuah lagu yang terlupakan, keindahan lirik lagu Yogyakarta kini mulai dipertanyakan. Masihkah keindahan kota ini meninggalkan kesan?

Mal: Sensasi baru
Akhir-akhir ini, Kota Yogyakarta seolah sedang bergeliat melakukan revolusi untuk menjadi kota (yang ingin disebut) modern. Pembangunan sarana infrastruktur digalakkan dan pertumbuhan ekonomi dipompa. Konon katanya, semua itu dilakukan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diharapkan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan yang tidak terlalu muluk-muluk.

Berbagai aksi mulai dirancang dan diberlakukan untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan tersebut. Pembangunan mal dianggap sebagai salah satu cara untuk menggapainya. Pembagunan mal-mal diharapkan dapat menarik investasi berskala besar. Gayung bersambut ketika akhirnya investor mal mulai berdatangan ke Yogyakarta. Bahkan, disusul dengan maraknya investasi di bidang perumahan. Namun, rasanya ini sedikit melenceng dari sasaran. Sekali lagi pertanyaan diajukan, apakah pembangunan mal meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Masyarakat mana?

Galeria Mall, Mal Malioboro, Ramai Mall, dan kelak  disusul oleh Plaza Ambarukmo, Saphir Square, Hypermarket Makro, franchise Marvin Reeves Trade Center, Jogjatronik, Rekso Arcade, Kedaung, bahkan Gama Plaza milik PT. Gama Multi Usaha Mandiri (salah satu unit bisnis Universitas Gadjah Mada) akan menambah deretan panjang mal-mal yang mengisi kota kecil bernama Yogyakarta ini. Konsumennya jelas masyarakat umum. Apalagi di Yogyakarta tertampung ribuan pelajar dan mahasiswa pendatang, pangsa yang menarik untuk dibidik. Menengah keatas? Tidak juga. Masyarakat menengah ke bawah pun tidak mau ketinggalan untuk bertandang ke mal. Ciri khas mal yang menawarkan kenyamanan, keleluasaan, pengemasan menarik, dan harga yang bersaing memang menjadi daya pikat utama dari sebuah mal.

Informasi dari media kapitalis turut berperan akan tumbuhnya tingkat konsumsi di pusat perbelanjaan one stop shopping ini. Reklame-reklame pusat perbelajaan yang menyuguhkan simbol kepercayaan diri dan gaya hidup masa kini menjadi sebuah imagologi bagi para konsumennya. Mal kini telah menjadi sebuah ikon yang diasosiasikan dengan tren terbaru, cita rasa tinggi, gengsi, modernitas, dan globalisasi. Pun, semua itu seolah wajib diikuti.

Hal ini tidak dapat diingkari. Dalam buku ‘Ectasy Gaya Hidup’ disebutkan bahwa masyarakat cenderung terserap dalam keperkasaan kebudayaan pop yang kian hegemonik dengan segala atributnya. Gaya hidup kini telah menjadi komoditas. Sayangnya, kebanyakan orang tampak lebih mementingkan “kulit” daripada “isi.” Disinilah muncul istilah hedonisme yang konon disebabkan perkembangan ekonomi yang pesat. Mungkin ini menjadi konsekuensi logis bagi tujuan perekonomian kita.

Mal memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Implikasi positif yang dimunculkan juga ada. Terserapnya tenaga kerja, pendapatan daerah yang melambung, atau meningkatnya investasi. Tapi ini tidak sebanding dengan implikasi negatif yang ditimbulkan. Kriminalitas, kemacetan yang pada ujungnya meningkatkan polusi, atau bahkan musnahnya pasar tradisional karena keberadaannya semakin terpinggirkan. Hal ini dibenarkan Agus Miftahus Surur, pengamat ekonomi dan peneliti dari Surabaya. “Inilah deretan implikasi dari sekian banyak persoalan yang cenderung mengutamakan kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Tujuan mensejahterakan masyarakat pun menjadi kabur. Mayoritas masyarakat Yogyakarta bergelut di sektor informal yang termasuk pula didalamnya pedagang kecil dan menengah. Apa untungnya masyarakat lokal Yogyakarta dengan bertambahnya mal. Yang justru bertambah banyak adalah dampak negatifnya. Sifat konsumtif masyarakat yang bertambah tinggi, tergesernya lahan-lahan publik (bahkan sebuah bangunan Sekolah Dasar dalam pembangunan Plaza Ambarukmo), dan bergugurannya pengusaha kecil karena tidak mampu bersaing. Pemerintah daerah (pemda) seharusnya bersikap melindungi masyarakat.

Pemda seharusnya waspada. Pertumbuhan mal-mal dapat mengurangi daya tarik wisata Yogyakarta. Yogyakarta sudah kadung terkenal dan dikenal akan budaya dan pendidikannya. Jika ingin menjadi pusat wisata belanja rasanya kurang tepat. Bersaing dengan Bandung yang sudah terkenal dengan factory outlet, jeans, dan produk sepatunya akan sulit. Apalagi jika dibandingkan dengan Orchad Road di Singapura. Yogyakarta lebih tepat jika dikembangkan sektor budaya dan pendidikannya. Kita bisa berkaca pada  Perancis. Bangunan-bangunan bergaya kuno di Perancis masih dipertahankan, museum-museum diperbaiki, pusat informasi pariwisata diperkaya, dan universitas-universitas dengan jurusan seni ditingkatkan kualitasnya. Hasilnya, bisa disaksikan dunia. Yogyakarta mungkin sebaiknya mengambil pelajaran dari Perancis. Hal ini sebenarnya sudah sering disampaikan banyak pihak. Sejumlah seniman pernah menentang pembangunan mal dengan menggelar performance art di beberapa tempat pada bulan Oktober 2004 lalu.

Investor mal pun sebenarnya sudah seharusnya waspada. Sudah benarkah mereka membuat sebuah studi kelayakan usaha? Perlu diingat bahwa Yogyakarta adalah sebuah daerah yang tidak terlalu luas. Disamping itu, pangsa pasar yang mereka bidik dirasa kurang tepat. Rata-rata pengunjung mal, yaitu pelajar dan mahasiswa adalah pengunjung yang sekedar ingin berekreasi (window shopping), bukan berbelanja.

Yang berperan sepenuhnya disini memang konsumen, konsumen memiliki hak istimewa untuk memilih mal atau menoleh kembali pada pasar tradisional?

Pasar Tradisional : Sebuah harapan
Suasana ‘Indonesia sebenarnya’ dapat dirasakan dalam sebuah pasar tradisional. Nuansa gemeinschaft (kebersamaan) dan kekeluargaan begitu melekat didalamnya.  Itulah isi dari sebuah pasar tradisional. Di Yogyakarta, terdapat banyak pasar tradisional yang memiliki corak khas tersendiri. Pasar Kranggan, Pasar Burung Ngasem, Pasar Sepeda Terban, bahkan pasar yang berjuang sendiri di tengah-tengah modernitas Malioboro, Pasar Beringharjo. Menurut data Dinas Pasar Kota Yogyakarta, ada 30 pasar tradisional yang masih eksis di kota ini, dengan total jumlah pedagang sebanyak 12.748 jiwa. Berdasarkan jumlah pedagang dan luas bangunan, lima pasar terbesar adalah; Pasar Beringharjo, Pasar Kranggan, Pasar Sentul, Pasar Giwangan, dan Pasar Kotagede. 

Dilihat dari akar historisnya, pasar tradisional menjadi salah satu fondasi bagi terbentuknya Kota Yogyakarta, sebenarnya dulu ada empat fondasi utama yang menyangga kota ini, yang sering dianalogikan dengan catur tunggal. Meliputi; kraton, alun-alun, pasar, dan masjid. Pasar tertua dan terbesar di kota ini adalah pasar Beringharjo, bahkan embrio pasar ini telah mengada sejak tahun 1758. Konon Pemerintah Hindia Belanda pernah memberi gelar pasar ini dengan sebutan “eender mooiste passers op Java,” artinya salah satu pasar terindah di Jawa.

Pasar tradisional menjadi salah satu alternatif masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari dengan harga yang relatif lebih murah. Untuk sebagian masyarakat, pasar tradisional bahkan dapat dijadikan tempat rekreasi untuk melepas kepenatan dalam kesibukan sehari-hari. Di pasar tradisional, interaksi antara penjual dan pembeli dapat berlangsung lebih akrab dan menawar harga suatu produk dapat memberikan kepuasan tertentu.

Jika dikelola dengan baik, tidak mustahil pasar tradisional akan mendatangkan keuntungan. Pasar tradisional dengan ciri khasnya bisa menjadi komoditas wisata yang pada akhirnya juga menguntungkan pemerintah daerah. Malah pasar tradisional dapat menjadi trade mark suatu kota. Artinya, mendengar nama pasar tradisional orang akan secara otomatis ingat kota di mana pasar itu berada. Misalnya Pasar Beringharjo, orang akan ingat kota Yogyakarta, atau Pasar Kumbasari, orang akan ingat Kota Denpasar. Karena itulah pasar tradisional dapat dijadikan salah satu atraksi wisata kota.

Namun, kita tak jarang mendengar sebutan becek, panas, sumpek, sempit, dan entah kata-kata berkonotasi negatif apalagi yang biasanya dicitrakan masyarakat umum terhadap sebuah pasar tradisional. Pasar tradisional memang memiliki keterbatasan fisik dan terkesan semrawut. Hal ini sebenarnya masih bisa diperbarui. Dalam permasalahan ini, menjadi tugas semua elemen untuk memperbaruinya. Pemerintah, masyarakat, dan penghuni pasar itu sendiri. Pasar tradisional sebaiknya mulai ditata, dirapikan, dan ditertibkan. Sebagai gambaran, Pasar Putih di Bukittinggi, Sumatera Barat. Disana, pasar ditata rapi, tempatnya bersih, pedagangnya ramah, nuansanya teduh, terkadang samar-samar terdengar alunan ayat suci yang dikumandangkan seorang tuna netra. Jauh dari kesemrawutan.

‘Isi’ memang menjadi sebuah keunggulan dari pasar tradisional yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Terlebih pasar modern.

Menilik pembangunan dan modernisasi di kota ini, jika tidak disikapi dengan bijaksana, tentunya akan menghilangkan identitas dan eksistensi budaya Yogyakarta. Sunarti, seorang sosiolog yang berhasil ditemui EQ mengungkapkan, “Apa jadinya jika kita lebih merasa bangga memakai produk luar negeri atau makan di restoran franchise, padahal mereka hanya menjual nama. Toh bahannya juga lokal, dikemasnya juga disini, yang beda kan cuma labelnya.”  Jika ditilik lebih lanjut memang ada benarnya. Apa bedanya kue yang dijual di mal dengan yang dijual di Pasar Kranggan, hanya tempat dan kemasannya bukan? Bahkan seringkali terjadi "outsourcing" oleh pihak Mal (khusunya untuk foodcourt) dengan mengambil makanan dari pedagang tradisional dan menjual dengan harga jauh lebih mahal. Ditinjau dari sisi positif, memang ada kesan membantu. Namun apa benar-benar membantu? Tidak ada perubahan kesejahteraan dari si pedagang meski jualannya dijual di etalase kaca.

Dualisme sektor modern dan tradisional adalah implikasi yang tidak bisa dihindarkan dalam sebuah pembangunan. Seiring perjalanannya, sektor tradisional sebagai sektor ekonomi rakyat akan selalu menjadi yang tergilas. Generasi muda bangsa diharapkan mampu menjadi sosok pejuang dan pembangun sektor ekonomi rakyat ini, yang kelak mampu mengangkat taraf hidup dan derajat masyarakat grass root. Mampu mengantar mereka ke kehidupan yang lebih baik, yaitu kesejahteraan dan kesetaraan.

ditulis Aries Setiadi, Andar Hermawan, dan DK

Tulisan berjudul asli "Dualisme Pasar di Kota Pelajar", diterbitkan pada majalah Equilibrium tahun 2004.

Photo terpasang adalah photo pasar Beringhardjo tahun 1910, saya temukan di sebuah folder komputer di warung internet.

Sabtu, 01 November 2008

Perjalanan

09.53 tik tok.

Stasiun Tugu, Yogyakarta.

Jam yang bulat besar menggantung itu sudah menunjukan angka yang sama dengan waktu keberangkatan yang tertera di tiket, tapi deretan gerbong kereta dengan lokomotifnya belum juga nampak. Derunya pun belum terdengar. Sementara saya sudah menunggu setengah jam karena khawatir akan tertinggal. Kalau tahu akan begini lebih baik saya datang terlambat. Saya menggerutu sendiri.

Saya memandangi stasiun utama kota bakpia ini. Menatap atap-atapnya yang terkesan ringkih. Memandang orang-orang yang berlalu lalang. Memandang penjual-penjual yang berjalan menjajakan dagangannya lengkap dengan senyuman. Senyuman.

“Senyuman kamu.”

“Ada apa dengan senyuman aku?”

“Entah. Ada semacam perasaan senang saat aku melihat senyuman kamu.”

“Mungkin kamu jatuh cinta sama aku.”

Aku mengangguk, tak terlalu dalam, tapi kemudian menyela, “enggak.”

“Mengapa enggak?”

“Kamu ngomong apa sih? Pindah topik saja, ya.”

“Ha ha ha…”

Saya tersenyum sendiri di titik yang menjadi gerbang keluar dan menuju Kota Budaya ini. Saya tersenyum sendiri di antara orang-orang yang sibuk hiruk pikuk. Saya tersenyum sendiri mengingat masa lugu saya. Saya teringat senyumannya. Seandainya saya sempat bertemu dia dahulu. Tapi di mana ia? Mengapa sampai sekarang dia belum menghubungi saya?

10.21 tik tok.

Seorang petugas PT Kereta Api Indonesia dengan pengeras suaranya mengumumkan kedatangan Kereta Lodaya yang sudah saya tunggu sejak satu jam lalu. Saya menghembus napas dengan berat. Inilah resiko yang harus ditanggung jika memilih moda transportasi umum milik pemerintah tercinta. Terlambat adalah hal biasa. Waktu tidak ada harganya. Padahal bagi saya dan dia waktu sangatlah berharga.

Saya menaiki kereta, langsung menuju kursi 3D di gerbong eksekutif 2. Kereta terlihat lengang, mungkin karena bukan akhir pekan atau saat liburan. Hanya ada sekitar 12 penumpang termasuk saya. Satu keluarga yang terdiri dari 4 orang: Ayah, Ibu, dan 2 anak yang lucu. Program keluarga berencana yang berhasil. Saya tersenyum simpul melihat mereka. Sisa penumpang adalah individu-individu yang kemudian sibuk dengan telepon selularnya masing-masing. Barangkali mengabarkan keberangkatan mereka pada keluarga atau istri atau suami tercinta.

Saya melihat telepon selular saya. Memandangi layarnya. Tidak ada pesan ataupun panggilan tak terjawab. Saya menanti pesan dan panggilan dari ia.

“Besok saya telepon dulu.”

“Tapi kamu jangan lupa lagi.”

“Nggak, dong.”

“Dulu juga kamu lupa.”

“Aku kan sudah minta maaf.”

“Bagas, waktu kita untuk bertemu terbatas. Aku enggak mau kalau ada kesempatan yang terlewat.”

“Aku juga begitu, tapi kamu juga harus memahami keadaan aku.”

Begitu mudahnya kamu meminta aku memahami keadaan kamu, Bagas. Tidak kah kamu berpikir untuk memahami keadaan aku? Aku yang harus menempuh jarak 388 kilometer. Aku yang harus meninggalkan urusan kerja. Aku yang harus mengarang berbagai cerita sebagai alasan. Semua demi bertemu denganmu.

Memahami keadaanmu sama saja dengan aku memaksa diriku untuk memahami keadaanku. Keadaan yang bukan keinginanku. Tapi apa hendak dikata.

Saya menepis bayangan pertengkaran-pertengkaran saya dengan dia. Pertengkaran yang selalu saja berkutat pada pokok permasalahan yang sama: terbatasnya waktu saya, terbatasnya waktu dia, dan terbatasnya ruang untuk kami berdua bersua.

Kereta mulai berjalan. Di luar jendela terlihat orang-orang melambaikan tangan tanda perpisahan pada orang-orang tercintanya. Ah, seandainya dia ada.

***

Pukul sebelas lebih enam menit, kereta baru sampai Wates. Belum ada pesan singkat ataupun panggilan dari dia di telepon selular saya. Padahal saya benar-benar menantinya.
Saya melamunkan dia. Saya melamunkan Wates. Saya melamunkan gula. Saya masih ingat ketika ia mengajak saya jalan-jalan di suatu siang.

“Mau ke mana?”

“Wates.”

“Ngapain?”

“Beli gula.”

Saya tertawa. Saya kira dia bercanda. Tapi saya naik saja ke mobilnya.

Sepanjang perjalanan, dia berceloteh tentang dosennya. Dosen yang selalu merasa paling benar. Dosen yang merasa paling pintar. Dia kemudian berargumentasi betapa banyaknya tenaga pengajar di kampus yang jauh dari standar. Mengajarkan banyak rumus tanpa tahu penerapannya di dunia nyata.

Saya hanya mendengarkan saja. Saya baru setengah tahun duduk dibangku kuliah dan belum pantas menilai dosen-dosen saya. Sementara dia sudah dua tahun dan dikagumi banyak temannya karena kepintarannya. Saya juga kagum padanya.

Kemudian mobil kami menepi di sebuah tempat makan. Dia mengajak saya turun.

“Ini tempat beli gulanya,” ujarnya.

“Apa?”

Kemudian dia bertanya pada pramusaji. Membeli 1 kilogram gula batu.

Saya tertawa. “Serius beli gula?”

Dia menganggukan kepalanya, tanda mengiyakan.

“Mengapa harus sejauh ini untuk membeli gula?” selidik saya.

“Ibuku dulu selalu membeli gula dari sini dan aku suka rasanya.”

“Bukannya semua gula sama saja?”

“Manisnya gula sini beda.”

“Masa?”

“Kamu harus coba.”

Saya mengangguk.

Kami kembali ke mobilnya. Kembali ke Yogya. Kembali ke rumah yang dia tempati sendiri. Dia anak tunggal dan kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan. Kejadian yang membuat dia mandiri. Salah satu sifat yang membuat saya lebih kagum padanya.

Saya membantunya membuat teh manis di dapur. Dia memecah gula yang tadi dibeli dan mencelupkannya ke dalam teh panas yang telah saya seduh. Saya membawanya ke ruang tengah. Dia menyalakan televisi dan kemudian duduk di samping saya.

Dia memainkan gula batu yang mengapung di atas gelas dengan sendoknya. Saya memperhatikannya dengan seksama. Dia kemudian menatap saya. Saya tersipu.

“Coba,” ujarnya sembari menyodorkan gelas pada saya.

Saya menerimanya dan meminumnya pelan-pelan.

“Manis?”

Saya mengangguk.

“Tuh kan. Apa aku bilang?!”

Saya tersenyum.

Dia tersenyum. Manis. Lebih manis dari rasa teh yang baru saja saya minum.

Saya merasakan sebuah perasaan lagi padanya. Kali ini lebih dari sekedar kagum. Kemudian saya yakini sebagai cinta.

Perasaan itu terus tumbuh hingga saat ini. Saat sebuah stasiun kecil dengan papan biru menggantung bertuliskan Kutoarjo baru saja terlewati. Saat kereta api yang saya tumpangi terus melaju dengan derunya yang khas. Saat saya masih menanti kabar darinya sementara jarak semakin jauh memisahkan dia dari saya.

Telepon selular saya belum menerima pesan ataupun panggilan seharian ini. Saya memasang ear-phone dan mulai mendengarkan lagu. Mata saya terpejam tapi bayangan saya masih mengambang.

Tempo lagu yang lambat menghanyutkan perasaan saya. Saya benci perasaan melankolis seperti ini.

***

“Kadang aku lelah harus seperti ini.”

“Aku juga.”

“Tapi bagi aku, bertemu kamu menghilangkan semua lelah yang harus aku jalani demi bertemu kamu.”

“Aku juga.”

“Kamu bohong.”

“Sungguh.”

“Sungguh?”

“Iya.”

“Benar?”

Dia kemudian menghampiri saya, mendongakkan dagu saya, dan mencium bibir saya. Lembut.

Saya kemudian bermanja-manja. Memegang bahunya yang bidang dan menelusuri lengannnya hingga akhirnya meremas jemarinya yang kokoh. Saya lalu merajuk dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan retoris: “Kamu cinta aku?”

Dia mengangguk.

“Dengan segala kekurangan aku?”

Dia mengangguk.

“Dengan tulus?”

Dia mengangguk dan memeluk tubuh saya.

Saya menunduk. Memperhatikan detik pada jam yang melingkar di pergelangan lengan kiri saya. Waktu menunjukan pukul empat belas lebih empat puluh menit. Kereta sedang berhenti di stasiun Banjar. Saya sudah melewati dua propinsi: Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Suasana di luar kereta nampak panas. Sinar matahari terlihat terik. Saya bersyukur berada dalam kereta dengan pendingin udara yang membuat saya nyaman. Empat jam lebih sudah saya berada dalam kereta. Pikiran saya sudah lelah mengingat semua kenangan tentang saya dan dia. Rasanya saya ingin tidur dahulu.

***

Malam melarut. Bunyi alam melangut. Kami, saya dan dia, berbicang di kamar yang kami sewa di kawasan Malioboro.

“Kamu jadi pulang Kamis pagi?”

Saya mengangguk.

“Mau aku antar sampai stasiun?”

“Kamu bisa?”

“Aku bisa. Kamu naik kereta pukul berapa?”

“Sekitar pukul 10.”

“Oke, kalau begitu aku berangkat pukul 9 saja, sekalian ngantor.”

Saya mulai merajuk lagi. “Jadi kamu mau ngantar aku atau kerja?”

Dia tersenyum dan mengedipkan mata kirinya.

Kami tertawa, tapi kemudian kami bertengkar. Pertengkaran yang selalu saja berkutat pada pokok permasalahan yang sama: terbatasnya waktu saya, terbatasnya waktu dia, dan terbatasnya ruang untuk kami berdua bersua.

Dia terdiam.

Saya terdiam.

Hening.

“Bagaimana rasanya setelah menikah?”

Dia tersenyum kecut.

“Bagaimana kabar istri kamu?”

“Kabar suami kamu?”

“Kamu belum jawab pertanyaanku!” saya ketus.

“Aku malas menjawabnya. Bagaimana perasaan kamu saat aku tanya kabar suamimu?” nada suaranya mendadak meninggi.

Saya diam.

“Begitulah juga perasaanku,” ucapnya pelan.

Saya memalingkan muka, menatap lukisan yang menempel di tembok. Lukisan seorang anak yang tersenyum polos.

“Pernikahan yang dipaksakan sungguh tidak mengenakan. Seandainya orangtuaku belum meninggal, aku pasti minta untuk tidak menikahinya. Aku pasti menikahi kamu, Laras.”

Saya tersenyum kecut. Saya juga merasakannya, batin saya.

***

17.27 tik tok.
Pengumuman di kereta membangunkan saya. Rangkaian gerbong besi ini sudah sampai di Stasiun Kiaracondong, sebentar lagi akan sampai di Stasiun Bandung.

Saya membereskan barang-barang saya, merapikan pakaian dan rambut saya. Terdapat sebuah pesan singkat pada telepon selular saya. Saya jadi penasaran.

Pesan itu ternyata datang dari suami saya. Mengabarkan ia akan menjemput saya di stasiun. Saya senang, tapi akan lebih senang jika seseorang yang saya cintai yang mengirimkannya.

Kereta sudah sampai. Bergegas saya menjinjing koper kecil saya dan turun dari kereta.
Suami saya sudah duduk menunggu di kursi dekat restoran cepat saji. Ia tersenyum lega melihat saya melambaikan tangan.

Saya menghampiri dan memeluknya.

“Bagaimana acara pernikahan teman kamu?”

“Lancar,” jawab saya pendek.

“Jadi reuni?”

Saya mengangguk. “Pulang yuk?! Badanku udah lengket.” Saya berusaha mengalihkan perhatiannya. Saya malas untuk berbohong banyak. Saya malas mengarang cerita.

18.06 tik tok.

1 Pesan Baru. Isinya: Maaf tadi nggak jadi ke stasiun. Istriku mendadak mengeluh pusing dan minta diantar ke dokter. Luv, Bagas.
(*)

Diterbitkan dalam Majalah Femina No. 41/XXXVI 16-22 Oktober 2008

Senin, 18 Agustus 2008

Ice Coffee Mix





Seratus lima puluh mililiter ice coffee mix
Dituang ke dalam sebuah gelas plastik
Aku menyesapnya dalam keheningan malam
Dalam kesendirian

Malam sedang muram
Tak tampak bulan
Hanya lampu taman memantulkan bayanganku yang duduk di kursi taman
Hanyut dalam lamunan

Aku lelah namun berharap tak terlelap
Ice coffee mix dalam gelas plastik masih tersisa untuk disesap
Masih cukup membuatku terjaga meski hanya diam
Menghabiskan malam
Setia menunggumu
Untuk datang menepati janjimu

This poem was written in order to join "Lomba Ngeluh Gombal" by Blogfam Community. I have no clue whether I have been 'gombal" enough or not he he he. Honestly, I am not a type of romantic lad. I tried to challenge myself to be one and the poem above is the result. What do you think?

photo courtesy of 'http://blog.acehighperformancehorses.com/amajeanblog/'

Selasa, 01 April 2008

Sudut Rahasia


Masuk perpustakaan, belok ke kiri. Rak buku deret ke delapan, belok ke kanan. Di sana ada sebuah lemari kecil dengan tinggi sebahuku dan panjang lebih kurang dua meter, tempat majalah-majalah terbitan lama. Paling lama yang pernah aku baca tercatat tahun 1976. Empat belas tahun sebelum aku lahir!

Lemari selebar setengah meter itu menyisakan sedikit ruang di sudutnya. Cukup mengambil kursi, duduk, bersandar ke tembok, dan mesin pendingin udara akan menghembuskan semilir ke tubuhku. Kadang aku tertidur sejenak di sana, tanpa ada yang tau, tanpa ada yang berani mengganggu.
Sudut rahasia. Begitu aku menamainya. Sudut di mana aku bisa berkonsentrasi belajar untuk ujian. Atau, sekadar mengkhayal membuang waktu saat pelajaran kosong! Hehehe....

Yap. Tempat ini emang jarang terjamah murid-murid lain. Apalagi, murid cowok. Mereka paling males ke sini lantaran merasa nggak ada yang menarik buat dibaca. Beda dengan murid cewek. Satu-dua, masih ada cewek yang datang untuk membaca majalah baru atau buku fiksi di rak buku deret ketiga.
Sudut rahasia. Selama aku nggak mengeluarkan suara, nggak ada seorang pun yang akan tau kalo aku ada di situ. Nggak juga sahabat terdekatku, Laras.

Laras udah aku kenal sejak kecil. Sejak kelas 2 SD, seingatku. Dia murid baru di kelasku. Ketika pulang sekolah, aku menemukan ibuku dan ibu Laras udah asik ngobrol layaknya teman lama. Kata ibuku, Laras dan ibunya adalah tetangga baru di sebelah rumah.

Sore harinya, aku dan ibu berkunjung ke rumah Laras. lbu memuji potret Laras dan ibunya yang tertempel di Binding. lbu Laras tersenyum. Aku bertanya, "Kok nggak ada ayahnya?" lbu Laras menunduk. Kemudian ibuku menarik tanganku, mengajakku pulang. Di rumah, lbu menasehatiku agar nggak bertanya seperti itu lagi pada Laras dan ibunya.

Bertahun-tahun aku dan Laras bertetangga. Sekarang, aku dan Laras udah kelas XII SMA. Dan, kami selalu satu sekolah, meski nggak selalu satu kelas.

Seiring berjalan waktu, aku tau kalo ayah Laras meninggalkannya dan ibunya tanpa alasan yang jelas. Laras sendiri yang cerita!

Di antara aku dan Laras emang hampir nggak ada rahasia lagi. Semua hal tentang aku, Laras tau. Begitu pula sebaliknya. Tahi lalat di punggungnya, aku tau. Luka jahit di paha kananku, dia pun tau. Malah, kami sering mandi bareng. Tapi, itu dulu, waktu kami masih kecil.

Laras selalu bilang kalo dia percaya sepenuhnya padaku. Aku juga bilang begitu kepadanya, kecuali dua hal: sudut rahasia di perpustakaan itu dan perasaan cintaku. Masalah sudut rahasia, aku nggak bilang karena aku butuh tempat yang benar-benar bebas gangguan. Sementara masalah perasaan cinta, aku nggak bilang karena aku pikir belum waktunya! Lagian, aku belum tau Laras punya pacar atau nggak.

Pernah suatu kali aku bertanya pada Laras, “Kamu punya pacar nggak sih?”

“Hahaha...,” dia hanya tertawa.

Aku ulangi lagi pertanyaan tadi. Kali ini dia menjawab, “Rahasia!”

Kemudian, dia memukuli tubuhku dengan bantalnya, lalu menggoda, “Monik apa kabarnya? Shanty? Nina? Surat cinta Nina udah dibales?”

Sial!

Ngomong-ngomong tentang cinta, Laras emang tau banyak tentang kisah cintaku. Bahkan, sering kali dia lebih tau dibandingkan aku!

Aku nggak pernah tau kalo Nina, teman sekolahku, sebenarnya naksir aku. Aku pikir dia sering nanya rumus Fisika padaku karena emang nggak tau. Ternyata, itu cuma pura-pura! Sebab, akhirnya Nina mengakui dalam surat cinta yang diselipkannya di buku catatanku.

Laras? Dia udah bilang kepadaku mengenai dugaannya kalo Nina naksir aku sejak awal. Hanya aja, aku nggak percaya.

Itu baru satu contoh. Contoh lain, Laras juga tau kalo aku selalu menolak cewek-cewek di sekolah yang menyatakan cintanya padaku. Cuma, Laras nggak pernah memberi respon, walau hanya sekadar bertanya kenapa aku menolak cewek-cewek itu!

Hmmmm..., seandainya aja dia nanya, aku pasti akan berterus terang menjawab, “Karena aku cinta kamu, ‘Ras!”

Tiga bulan yang lalu, aku sempat bertanya pada Dinar, teman sebangku Laras, tanpa sepengetahuannya, “Laras pernah cerita tentang cowoknya nggak, ‘Nar?”

Dinar menggelengkan kepala.

“Atau, ada cowok yang lagi dia taksir?”

Dinar kembali menggelengkan kepalanya. Nggak lama Dinar berkata, “Untuk yang satu itu aku nggak berani ngomong, ‘Ndi. Kamu lebih baik tanya sendiri ke Laras. Oke?”

Aku mengangguk pelan. Pikiranku penuh dengan dugaan. Laras bisa jadi udah punya pacar. Tapi, siapa? Sering kali malem Minggu pun aku dan Laras habiskan bersama kok!

Hah! Apa mungkin pacarnya tinggal jauh? Kalo iya, kenapa selama ini dia nggak pernah cerita?

Aaakh..., nggak tau! Bingung! Penasaran!

Yang pasti, makin hari aku makin berusaha lebih dekat dengan Laras. Mengerjakan PR bersama, memeriksa agendanya, memantau kegiatannya, sampe menemaninya berbelanja. Investigasi, aku menyebutnya. Aku pengen banget tau dia dekat dengan cowok mana aja selain aku.

Sayang, investigasiku berjalan sia-sia. Hampir sembilan puluh hari aku nggak kunjung menemukan tanda-tanda Laras dekat dengan cowok lain secara istimewa. Yang tampak kasat mata hanya ada lima cowok yang dekat dengan Laras. Aku, Andri (teman satu kelompok praktikum Biologi), Rendra, Damian (teman ekskul Karate), sama Mang Udjang (tukang kebon di rumahnya)

Kenyataan ini membuat rasa penasaranku makin membuncah. Pengen banget rasanya aku mengecek email Laras untuk mencari tau kemungkinan dia pacaran jarak jauh. Tapi, itu tentu mustahil aku lakukan! Aku emang tau email add-nya, cuma kan nggak tau password-nya! Lagi pula, setahuku Laras bukan internet mania. Friendster dan Myspace-nya aja udah last login lebih dari tiga minggu lamanya.
Saat Laras mandi, aku mengendap-endap di kamarnya. Merambah tas, meja belajar, laci, hingga lemarinya. Aku berharap menemukan satu surat cinta atau sekadar petunjuk pada siapa Laras menjatuhkan cintanya. Tiga kali investigasi kamar Laras tetap berbuah hasil yang nihil!

Aku mengangkat kedua tanganku. Menyerah! Biar aja deh.... Nanti kalo udah waktunya, aku pasti akan tau sendiri.

Fuiiih ... ! Laras pintar menyimpan rahasia cintanya, seperti aku merahasiakan sudut rahasiaku di perpustakaan sekolah.

***

Matahari berada tepat di tengah ubun-ubun. Panas luar biasa! Keringat mengucur deras membasahi kepala dan leherku. Kelas Bahasa Indonesia kosong, tapi gerbang sekolah belum dibuka. Aku memutuskan untuk menyepi kembali di sudut rahasia.

Aku mengambil kursi dan duduk di pojoknya. Kancing kemeja aku buka dua. Udara sejuk mendinginkan kepalaku. Mendengarkan lagu Travis mungkin menambah sejuk suasana. Sayang, perpustakaan sekolah, bukan kamarku. Ada aturan yang harus aku taati juga.

Keringatku pelan-pelan mengering. Udara terasa makin dingin. Suasana semakin melangut. Aku terkantuk-kantuk…. Kusandarkan lebih dekat punggungku dengan tembok. Sebuah majalah lama tangkupkan menutupi muka. Semoga nggak ada yang ngegepin aku tertidur di sini.

“Tapi dia udah terlalu dekat dengan kamu.”

“Aku nggak ada perasaan apa-apa.”

“Aku takut kamu berubah.”

“Untuk apa aku berubah?”

“Dia makin dekat dengan kamu!”

“Aku sahabatnya.”

“Tapi dia cinta sama kamu.”

“Apa aku bisa melarangnya?”

“Kamu jangan terlalu dekat. Dia bisa salah paham. Dia pernah membicarakannya ke aku.”

“Apa aku bisa melarangnya?”

“Tapi Andi......”

Aku terperanjat dari tidurku. Aku masih di sudut rahasia. Aku merasa mendengar ada suara yang menyebut namaku. Kulihat sekelilingku nggak ada siapa-siapa. Barangkali tadi aku mimpi. Akh..., nggak!!! Suara itu masih ada.

Aku berdiri, membenahi kancing kemejaku. Mengosokan kedua telapak tanganku di muka agar terjaga. Aku pasang kedua telingaku mendengar obrolan mereka. Suara Laras terdengar sangat jelas. Sementara, suara yang satunya lagi aku dengar agak samar.

“Sedekat apapun aku dan Andi cuma sahabat.”

“Aku cinta kamu, ‘Ras. Aku takut kehilangan kamu.”

“Aku juga cinta kamu, ‘Nar. Cuma kamu.”

Laras??? Dinar???

Aku kembali duduk dan menyandarkan tubuhku ke tembok. Masih bengong, nggak percaya dengan obrolan yang aku dengar barusan. Aku menutup mataku. Rasanya, aku benar-benar pengen tidur dulu. (*)

Diterbitkan dalam Majalah Hai Edisi17-23 Maret 2008/TH XXXII No. 11