Senin, 22 Agustus 2016

Stuned Journey 2.0: Mengenal Maastricht dan sekilas Maastricht Treaty



Ketika saya mengirim aplikasi untuk mengikuti  e-government short course di Maastricht School of Management (MSM), saya sama sekali tidak mengacuhkan di mana letak Maastricht di peta Belanda. Pertimbangan utama saat itu adalah materi kursus singkat yang menarik dan kemungkinan akan bermanfaatnya kursus tersebut untuk portofolio kerja saya. Setelah saya mendapatkan beasiswa Stuned, barulah saya mulai mencari tahu di mana MSM berada dan seluk beluk kota Maastricht selengkapnya.

- blog terkait pengalaman mengirim aplikasi untuk shortcourse dan beasiswa Stuned dapat dibaca di Seluk Beluk Pendaftaran Beasiswa Stuned: Pengalaman -

Kota Maastricht ternyata ada di ujung tenggara Belanda, berbatasan langsung dengan Jerman dan Belgia, dan merupakan ibu kota dari provinsi Limburg. Nama Maastricht sendiri berakar pada kata Maas, yang berarti sungai dalam bahasa Belanda. Kota kecil ini hanya berukuran 60 kilometer persegi dan dihuni sekitar 120 ribu penduduk. Menurut beberapa orang lokal, Maastricht merupakan salah satu kota pelajar di Belanda, sehingga banyak pula mahasiswa pendatang baik dari kota lain di Belanda dan Uni Eropa, maupun yang berasal dari negara lain diluar Eropa.

Setelah menempuh lebih dari 200 kilometer perjalanan dengan kereta dari Amsterdam, saya tiba di Stasiun Maastricht Randwyck. Sebuah stasiun mungil yang hanya memiliki dua lajur rel. Aparthotel Randwyck, yang menjadi domisili saya selama 3 minggu di Belanda, berada di seberang stasiun kereta ini. Sementara MSM dan beberapa fakultas Maastricht University berada tepat disamping Aparthotel Randwyck. Everything seems close and convenient in this country! :)

Petugas di lobby Aparthotel Randwyck kemudian memberikan sebuah bundel berisikan buku dan alat tulis serta satu bungkus paket “makan siang” berisikan buah-buahan, waffle, yoghurt, dan minuman ringan. Saya menempati kamar di lantai 3 dengan pemandangan ke arah taman. Kamar yang disediakan cukup luas dengan fasilitas tempat tidur double size, heater, lemari es, televisi, meja belajar, dan kamar mandi dalam. Mesin cuci, pengering, dan setrika ada di lantai basement. Sekali mencuci menggunakan satu koin khusus dikenakan biaya €6, jauh lebih mahal dari satu kali cuci dan pengeringan di Manhattan yang hanya dikenakan US$1.75-2.50 saja. Karena masih agak jetlag dan kelelahan pascajalan kaki di Amsterdam, saya tidak sempat jalan-jalan di hari pertama saya tiba di Maastricht.

- blog seputar jalan-jalan di Amsterdam dapat dibaca di Stuned Journey 1.0: Stopping by Amsterdam -

Minggu pagi, saya menyempatkan lari di seputaran apartemen. Dalam ‘pelarian’ ini saya kemudian mendapati kalau di atas stasiun kereta Maastricht Randwyck ada sebuah doner kebab halal, Musti Broodje. Tempat ini kemudian menjadi langganan saya selama 3 minggu di Maastricht. Satu kebab dengan french fries hanya dibandrol €4.5-€5 tergantung pada wrap-nya, apakah flatbread (mereka menyebutnya dürüm) atau bun seperti burger yang dibelah dan diisi daging dan sayuran. Yang enak dari kebab di doner ini adalah sayuran yang bisa customized, jadi bisa minta pickle dan jalapeno sepuasnya. It's nice, isn't it?

Pagi itu pula, seluruh peserta e-government short course diajak berjalan-jalan di seputaran Maastricht. Dengan dipandu seorang guide, kami mengawali perjalanan di Helpoort atau dalam bahasa Inggris berarti Hell’s Gate. Helpoort merupakan sebuah kompleks dinding kastil, gerbang, dan bangunan sisa abad pertengahan. Bisschopsmolen menjadi persinggahan kami yang kedua. Bisschopsmolen adalah sebuah kafe dengan nuansa klasik. Turbin air tua di depan kafe menambah suasana kota tua selama kami menikmati brunch di sana. Menu wajib di Bisschopsmolen adalah vlaai, sejenis American Pie dengan bermacam-macam filling-blueberry, strawberry, atau krim. Kopi dan berbagai jenis teh menjadi pendamping yang pas untuk menikmati vlaai. Joris, Assistant Professor of Management Information Systems, yang ikut jalan-jalan pagi itu menanyakan pendapat kami tentang rasa makanan di sana.

Lekker,” jawab saya.

Dia tersenyum.

Pemandu wisata kami kemudian menerka, "you are Indonesian, aren't you?"

Saya mengangguk.

"Do you use (the word) 'lekker' in Indonesia?" tanya dia lagi.

Kami pun berdiskusi singkat tentang bebagai persamaan bahasa Indonesia dan bahasa Belanda yang ada. Seorang peserta kursus dari Irak menanyakan mengapa ada banyak persamaan bahasa antara Indonesia dan Belanda. Saya menjawab karena kolonialisasi, sementara Joris menjawab, “commerce in the old centuries.” Awkward hehehe.

Jalan-jalan hari itu dilanjutkan ke gereja Basilica of Our Lady, atau warga setempat menyebutnya Onze Lieve Vrouw "Sterre der Zee" Basiliek. Selepas menikmati syahdunya nuansa gereja yang diterangi lilin-lilin, perjalanan kami dilanjutkan ke gereja St. John, atau Janserk, yang merupakan salah satu landmark popular kota Maastricht di area Market Square. Dibedakan dengan menara warna merah bata yang menjulang tinggi, gereja bergaya gothic ini adalah sebuah bangunan peninggalan abad ke-15 yang masih terawat dengan baik. Tepat disebelah gereja St. John, terdapat pula Sint Servaasbasiliek atau Basilica of Saint Servatius.

Ohya, kami juga sempat melewati jembatan yang berada di atas sungai Meuse, atau Maas dalam bahasa Belanda, ikon kota Maastricht. Dari jembatan ini, terlihat bangunan Gouvernement. Sekilas info, Gouvernement adalah tempat bersejarah di mana Maastricht Treaty ditandatangani pada tahun 1982 dan menjadi cikal bakal Euro. Bagi pemerhati Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Maastricht Treaty ini dikenal karena kebijakannya yang mengharuskan setiap negara anggota Euro untuk menjaga “sound fiscal policies, with debt limited to 60% of GDP and annual deficits no greater than 3% of GDP.” Kebijakan terkait defisit anggaran dan rasio utang inilah yang diadaptasi oleh Indonesia dalam Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Jalan-jalan yang edukatif, bukan?!

Perjalanan bersama para peserta e-government short course hari itu diakhiri di Market Square. Kami pulang masing-masing ke apartemen. Saya dan peserta dari Indonesia mampir sebentar ke Albert Heijn untuk membeli beberapa makanan pokok seperti roti, selai, dan buah-buahan.



(to be continued)

Stuned Journey 1.0: Stopping by Amsterdam



What are you going to do in Netherlands?

I’m taking a short course in Maastricht.

How long are you going to stay?

Three weeks.

Petugas imigrasi di Schiphol airport itu kemudian membubuhkan cap di paspor saya.

Selamat datang, ucapnya dengan aksen asing.

Sapaan yang akrab ditelinga itu membuat saya tersenyum lebar. Lega. Mimpi buruk mendapatkan “random check” di bandara pupus sudah. Jujur saja, setelah bekali-kali mendapatkan pemeriksaan tambahan yang konon katanya acak di berbagai bandara, mulai dari JFK, Jomo Kenyatta, Heathrow, Frankfurt, Dubai, Changi, hingga Cancun (so, random? I doubt it!), saya seringkali was-was ketika harus melewati imigrasi internasional. Lolos dari tambahan pemeriksaan ditambah sapaan dalam bahasa Indonesia tentunya menjadi awal menyenangkan dari perjalanan saya di Belanda.

Saya terbang berbarengan ke Belanda bersama 3 penerima fellowship Stuned dari Indonesia lainnya dengan Malaysia Airlines. Sekilas tentang Malaysia Airlines, pada saat itu, banyak peserta Stuned dari Indonesia khawatir jika harus terbang dengan maskapai penerbangan tersebut. Pada saat itu, peristiwa hilangnya pesawat MH-370 di perairan timur Malaysia dan dan jatuhnya pesawat penerbangan MH-17 di Ukraina masih cukup hangat dibicarakan media. Pengalaman saya terbang saat itu cukup aman dan nyaman. Pramugari yang melayani pun sangat ramah. Dalam perjalanan Kuala Lumpur-Amsterdam dan sebaliknya, mereka dengan senang hati membawakan saya ginger ale meski harus bolak-balik ke dapur pesawat.

- blog terkait pengalaman mengirim aplikasi untuk shortcourse dan beasiswa Stuned dapat dibaca di Seluk Beluk Pendaftaran Beasiswa Stuned: Pengalaman -

Pesawat mendarat di Schiphol sekitar pukul 6 pagi setelah melewati 12 jam perjalanan dari Kuala Lumpur. Kami berempat mengikuti e-government short course di Maastricht School of Management. Mbak Inge, Tomi, dan saya---kebetulan juga kami bertiga bekerja di satu Kementerian yang sama meski berbeda unit---memutuskan untuk jalan-jalan dulu di Amsterdam sebelum meneruskan perjalanan lanjutan dengan kereta menuju Maastricht. Sementara satu peserta lain yang kebetulan pernah kuliah di Belanda memutuskan untuk pergi terlebih dahulu.

Di lantai dasar Schiphol, kami membeli kartu telepon nomor lokal Lebara seharga €20 berisi pulsa telepon setara €10 dan paket internet 1 Gb. Penggantian kartu juga bisa dibantu oleh si penjual kartu. Gratis! Kami bertiga kemudian menitipkan koper kami di loker yang ada di bandara Schiphol. Karena ada 3 koper besar dan 2 tas ransel, kami menyewa 1 loker besar seharga €11.50 per 24 jam. Pembayarannya menggunakan kartu kredit. Di Schiphol pula kami kemudian membeli kartu akses kereta dan bis OV Chipkaart seharga €7.5 dan bisa diisi dengan bebas. Saya isi €22.5 untuk jaga-jaga. Sementara itu, tiket kereta dari Amsterdam ke Maastricht seharga €23 saya beli terpisah dengan tiket one way (tidak dapat diisi ulang) karena perlu diserahkan ke manajemen Maastricht School of Management untuk proses reimbursement.

Suhu udara Amsterdam pagi hari di awal Oktober ternyata cukup dingin. Saat kami berfoto-foto di depan tulisan “I amsterdam” di depan Schiphol, mulut saya mengeluarkan uap ketika berbicara dan kemudian mengingatkan saya pada musim dingin di Manhattan (duh!).    

Dari Schiphol, kami bersegera ke "pusat kota" Amsterdam dengan kereta bawah tanah. Saya mengambil tujuan agak ujung ke sekitaran Amsterdam Centraal . Lalu kami berjalan menyusuri pinggiran kanal. Sebuah restoran halal menarik perhatian mata (dan tentunya perut) kami. Satu porsi salad, french fries, dan daging asap plus satu kaleng minute maid dihargai €9. Meski udara dingin, kami tetap memutuskan makan sambil nongkrong di luar. Toko souvenir di sebelah tempat makan menjadi tempat persinggahan kedua kami. Mbak Inge dan Tomi langsung memborong beberapa magnet, sementara saya membeli kartu pos dan prangko

Suasana di Dam Square sudah mulai ramai ketika kami sampai di sana. Terlihat banyak turis berkunjung dan berfoto-foto. Dam Square ini seperti alun-alun kota, yang dikelilingi oleh Koninkilk Paleis (Royal Palace) Amsterdam, Nationaal Monument, dan Nieuwe Kerk---sebuah gereja megah yang kini dipakai sebagai tempat pameran seni. Dam square juga dikeliling tempat turisme lainnya, seperti Madame Tussaud, dan berbagai pusat perbelanjaan. Salah satu pusat perbelanjaan yang kami kunjungi adalah Magna Plaza, dengan tujuan numpang buang air kecil. Di Belanda, dan kelak kemudian juga saya temui di Belgia dan Perancis, penggunaan kamar kecil dikenakan biaya sekali masuk €1. Hmmm, pantas di Indonesia juga kamar kecil berbayar, tampaknya masih sisa budaya penjajahan Belanda hahaha.

Dengan tram, kami kemudian mengunjungi Rijksmuseum. Di depan museum ini lah tulisan “I amsterdam” yang asli berada. Berbeda dengan di Schiphol yang sepi, turis-turis berebutan berfoto di sana. By the way, Rijksmuseum dapat dikunjungi baik tanpa tiket maupun dengan tiket, tetapi area yang dapat dilihat tentunya sangat amat terbatas jika tanpa tiket. Di seputaran area tersebut, terdapat pula museum-museum lain seperti museum Van Gogh dan museum Stedelijk yang berisikan koleksi seni modern dan kontemporer. Antrian ke museum-museum ini cukup panjang, jadi pastikan membeli tiket secara online terlebih dahulu.



Matahari yang sudah mulai naik membuat suhu Amsterdam menjadi lebih hangat dan enak untuk jalan-jalan. Kami berjalan kaki melewati taman kota yang luas dan menyusuri pinggir kanal melewati Hard Rock Café dan juga Holand Casino. Sementara itu, perahu-perahu berisikan turis-turis terus lalu lalang.

Menjelang siang, kami memutuskan kembali ke Schiphol, mengambil koper, dan kemudian meneruskan penjalanan ke Maastricht. Perjalanan Amsterdam-Maastricht melalui kereta menempuh waktu lebih kurang 3 jam perjalanan dengan satu kali transit di Sittard. Sama halnya dengan di Indonesia, kereta antar kota di Belanda juga menganut kelas 1 dan kelas 2, atau sejenis Eksekutif dan Bisnis, yang dibedakan oleh besarnya kursi, jadi cek kembali apakah tiket kita sudah sesuai dengan gerbong kereta yang kita tempati atau bukan.

(to be continued to Stuned Journey 2.0: Mengenal Maastricht dan sekilas Maastricht Treaty)

Selasa, 22 Maret 2016

Seluk Beluk Pendaftaran Beasiswa Stuned: Pengalaman



Sudah lebih dari lima teman bertanya kepada saya tentang proses aplikasi beasiswa Stuned untuk kursus singkat (short course) yang saya ambil pada bulan Oktober 2015 lalu. Jadi saya pikir akan lebih bermanfaat jika dituliskan dalam blog supaya bisa terdokumentasikan lebih baik dan bisa dibaca lebih banyak orang. Berikut pengalamannya.

Beasiswa Studerend in Nederland (Stuned) merupakan beasiswa dari Pemerintah Belanda untuk warga negara Indonesia yang terdiri dari beasiswa untuk studi master, tailor made, dan kursus singkat. Beasiswa ini dikelola oleh Nuffic Neso Indonesia. Pengalaman yang akan saya bagi di blog ini hanya untuk proses aplikasi beasiswa kursus singkat—karena untuk beasiswa master dan tailor made belum berpengalaman. Beasiswa ke Belanda juga ada yang melalui skema Netherlands Fellowship Programmes (NFP), namun NFP ini terbuka untuk pelamar non-warga negara Indonesia dan dikelola oleh Dutch Ministry of Foreign Affairs. Saya pernah juga melamar beasiswa kursus singkat melalui NFP namun masih belum berhasil mendapatkan dana. Untuk program NFP, teman-teman bisa membaca penjelasan lebih lengkap di  pranala (link) berikut ini

Kembali ke Stuned!

Proses beasiswa Stuned ini kebalikan dari proses aplikasi beasiswa kuliah S2 yang pernah saya dapatkan sebelumnya. Jika dalam proses beasiswa S2 saya mendapatkan pendanaan terlebih dahulu, kemudian mencari sekolah dengan program yang saya inginkan, maka dalam proses beasiswa Stuned ini berlaku sebaliknya. Saya mencari program yang saya minati dan melamar ke kampusnya, setelah mendapatkan Letter of Acceptance, barulah kemudian saya mengisi aplikasi untuk meminta pendanaan dari Stuned.

Proses pencarian program kursus singkat dilakukan melalui situs www.studyfinder.nl sekitar pertengahan Desember 2014. Awal mulanya saya tertarik untuk mengirimkan aplikasi untuk kursus singkat terkait perubahan iklim/climate change dari Wangeningen UR. Tapi setelah menimbang ulang, meskipun materi ini menjadi minat saya dan juga menjadi salah satu fokus saya ketika mengambil kuliah S2, namun untuk keterkaitan dengan pekerjaan sehari-hari agak kurang relevan, jadilah saya mencari-cari program lain. 

Program e-government dari Maastricht School of Management (MSM) kemudian menjadi pilihan paling ideal. Kebetulan saya tertarik dengan topik e-participation dan kaitannya dengan transparansi anggaran.

Proses aplikasi untuk MSM relatif mudah dan dilakukan daring (online). Persyaratannya relatif standar terkait pengalaman kerja, sementara kemampuan bahasa cukup ‘ditunjukan’ dengan skor TOEFL iBT sebesar minimal 80 atau ITP minimal sebesar 550. Formulir daring berisikan pertanyaan terkait biodata dan pengalaman kerja. Di samping itu, pelamar diminta untuk mengunggah Resume dan satu esai lebih kurang dua halaman terkait dengan topik e-government. Untung saya pernah mengambil mata kuliah e-Government and Digital Diplomacy dari Alexis Wichowski ketika di SIPA dulu dan menulis salah satu tugas kuliah terkait dengan e-government dan penganggaran. Tugas baheula itu saya perbarui dan ditambahkan dengan beberapa opini baru terutama terkait dengan proses transparansi penganggaran di Indonesia. Aplikasi dikirimkan sekitar pertengahan Januari 2015.

Pada tanggal 27 Januari, sekitar dua minggu setelah pengiriman aplikasi, kabar gembira berupa Letter of Accepatance dari MSM datang. Saya diterima untuk turut serta dalam kursus singkat di bulan Oktober 2015. MSM menyarankan untuk mengirimkan aplikasi beasiswa NFP dan Stuned lengkap dengan pranalanya.

Proses aplikasi Stuned ini bisa dibilang gampang-gampang susah. Aplikasi beasiswa Stuned dilakukan dengan mengirimkan formulir pendaftaran dengan beberapa lampiran yang meliputi:
1. Letter of Acceptance dari kampus tempat kursus singkat akan diadakan
2. Sertifikat TOEFL iBT/IELTS (untuk yang pernah kuliah di luar negeri tidak lebih dari dua tahun dari kepulangan diperbolehkan untuk meninggalkan persyaratan ini)
3. CV (dengan format Stuned)
4. Salinan SK untuk PNS atau kontrak kerja untuk non-PNS
5. Ijazah dan transkrip yang sudah dilegalisasi
6. Salinan KTP atau paspor
7. Foto berwarna terbaru ukuran 3x4 (ditempelkan di formulir)

Dalam formulir juga terdapat beberapa pertanyaan seperti deskripsi pekerjaan, relevansi topik kursus singkat dengan pekerjaan, manfaat kursus singkat untuk karir ke depan, dan lain-lain. Selain itu, terdapat pula satu halaman khusus untuk diisi kantor atau pemberi kerja. Untuk PNS, yang menandatangani Statement by the Employer ini minimal oleh eselon dua--setara Direktur. Bagian inilah yang saya anggap 'susah' dari bagian-bagian gampang lain yang saya sebutkan sebelumnya. Meminta tanda tangan Direktur berarti harus siap menjelaskan untuk apa tanda tangan tersebut, apa program Stuned, dan lainnya. Setelah 10-15 menit berdiskusi bernegosiasi memohon untuk mendapat tanda tangan, akhirnya restu berupa tanda tangan Direktur didapatkan.

Formulir yang telah diisi beserta seluruh lampiran dokumen yang disyaratkan dikirim ke Kantor Nuffic Neso Indonesia di Menara Jamsostek. Saya mengirimkan via JNE per tanggal 17 Februari 2015. Pada saat itu disebutkan kalau 1 Maret 2015 merupakan batas akhir pendaftaran term 1 beasiswa Stuned--term 2 saat itu ditutup 1 September. Tapi per 1 Maret diumumkan melalui twitter Nuffic Neso Indonesia bahwa pendaftaran diundur hingga 1 April 2015.

Setelah melalui banyak berdoa, akhirnya per 8 Mei saya menerima surel (email) dari  Stuned dengan pesan sakti: "Thank you for your application for a StuNed Scholarship 2015. Herewith we would like to inform you that you have been selected to receive the scholarship." Alhamdulillah! Here I come, Maastricht!

Stuned memberikan batas waktu satu minggu untuk mengkorfirmasi jika saya mau menerima atau menolak beasiswa tersebut serta konfirmasi paspor--untuk PNS apakah akan menggunakan paspor dinas atau paspor biasa. Meski awalnya pemberitahuan dilakukan melalui surel, pada saat penandatanganan kontrak, surat resmi yang menerangkan bahwa saya menerima beasiswa Stuned juga diberikan.  

Proses selanjutnya adalah penandatanganan kontrak dan Acculturation Class yang dilakukan pada 13 Juni 2015. Penandatanganan kontrak dilakukan pada pagi hari di kantor Nuffic Neso Indonesia di Menara Jamsostek, sementara kelas akulturasi diadakan pukul 9 pagi sampai dengan 4 sore di Erasmus Taalcententrum Komplek Kedutaan Belanda Jl. H.R. Rasuna Said. Untuk penandatangan kontrak setiap penerima beasiswa diminta untuk membawa materai dua buah, tapi kalau mau berbaik hati dan mengantisipasi ada penerima beasiswa lain yang belum mendapat materai bisa juga mencontoh salah satu penerima beasiswa yang datang hari itu dengan membawa segepok materai. 


Kelas akulturasi terbagi dua sesi. Pada pagi hari, para penerima beasiswa kursus singkat dan saya mendapat pengenalan bahasa Belanda dasar. Saat sesi perkenalan, ternyata banyak juga penerima beasiswa ini yang pernah mengambil studi S2 di Belanda. Setelah rehat makan siang (gratis!) dan shalat, sesi kedua diisi dengan pengenalan budaya dan lingkungan Belanda. Saya mengajukan satu pertanyaan 'bodoh' di sesi ini: "apakah kartu transportasi OV-chipkaart bisa digunakan di seluruh Belanda?"

Saat itu, logika saya terpaku pada pengalaman di New York City dan kota lain seperti DC atau Philadelphia yang memiliki kartu transportasi berbeda meski sama-sama Amerika. Baru ngeh setelah berbulan-bulan kemudian menapakan kaki di Belanda dan ternyata negara itu kecil banget ya?! :)

Pertengahan Agustus 2015, penerima beasiswa kembali dikumpulkan untuk pertemuan ramah-tamah dengan pengurus Nuffic Neso Indonesia di Menara Jamsostek. Direktur Nuffic Neso Indonesia, Mervin Bakker, memberikan welcoming remarks di awal acara. Ibu Indy Hardono, koordinator Beasiswa Nuffic Neso, menyampaikan beberapa pesan dan juga pengalaman di Belanda. Acara kemudian diakhiri dengan pemberitahuan mengenai proses aplikasi visa (untuk penerima beasiswa yang akan menggunakan paspor biasa, sementara paspor dinas tidak memerlukan visa) oleh pengurus beasiswa kursus singkat Nuffic Neso, Mbak Okta. Hingga penandatanganan kontrak di bulan Juni, proses aplikasi beasiswa kursus singkat sempat ditangani oleh Pak Joni, tetapi kemudian digantikan oleh Mbak Okta. Pengurus Nuffic Neso ini cukup responsif ketika saya menyempaikan pertanyaan baik melalui telepon maupun surel. 

Ohya, di acara ini, kami diberikan bekal berupa tas laptop, topi, alat tulis, peta Belanda, informasi pariwisata Belanda, dan novel Negeri van Oranje--yang saat itu sedang promo untuk adaptasinya ke layar lebar. Awalnya, para penerima beasiswa kursus singkat ini sempat menerima undangan untuk sesi ramah tamah dengan Duta Besar Belanda dan beberapa undangan pemain film Negeri van Oranje, tapi kemudian kami menerima ralat kalau acara tersebut hanya untuk penerima beasiswa master. Tampaknya penerima beasiswa kursus singkat tidak terlalu potensial untuk di-brainwashed. Just kidding!

Konfirmasi tiket dikirimkan dua minggu sebelum keberangkatan saya di bulan Oktober. Semua persiapan berjalan lancar sampai saya menginjakan kaki di Maastricht, alhamdulillah. Pengalaman kursus singkatnya insha Allah akan saya ceritakan lain waktu. Selamat berjuang buat teman-teman yang mendaftar beasiswa Stuned!