
Masuk
perpustakaan, belok ke kiri. Rak buku deret ke delapan, belok ke kanan.
Di sana ada sebuah lemari kecil dengan tinggi sebahuku dan panjang
lebih kurang dua meter, tempat majalah-majalah terbitan lama. Paling
lama yang pernah aku baca tercatat tahun 1976. Empat belas tahun sebelum
aku lahir!
Lemari selebar setengah meter itu menyisakan sedikit
ruang di sudutnya. Cukup mengambil kursi, duduk, bersandar ke tembok,
dan mesin pendingin udara akan menghembuskan semilir ke tubuhku. Kadang
aku tertidur sejenak di sana, tanpa ada yang tau, tanpa ada yang berani
mengganggu.
Sudut rahasia. Begitu aku menamainya. Sudut di mana aku
bisa berkonsentrasi belajar untuk ujian. Atau, sekadar mengkhayal
membuang waktu saat pelajaran kosong! Hehehe....
Yap. Tempat ini
emang jarang terjamah murid-murid lain. Apalagi, murid cowok. Mereka
paling males ke sini lantaran merasa nggak ada yang menarik buat dibaca.
Beda dengan murid cewek. Satu-dua, masih ada cewek yang datang untuk
membaca majalah baru atau buku fiksi di rak buku deret ketiga.
Sudut
rahasia. Selama aku nggak mengeluarkan suara, nggak ada seorang pun
yang akan tau kalo aku ada di situ. Nggak juga sahabat terdekatku,
Laras.
Laras udah aku kenal sejak kecil. Sejak kelas 2 SD,
seingatku. Dia murid baru di kelasku. Ketika pulang sekolah, aku
menemukan ibuku dan ibu Laras udah asik ngobrol layaknya teman lama.
Kata ibuku, Laras dan ibunya adalah tetangga baru di sebelah rumah.
Sore
harinya, aku dan ibu berkunjung ke rumah Laras. lbu memuji potret Laras
dan ibunya yang tertempel di Binding. lbu Laras tersenyum. Aku
bertanya, "Kok nggak ada ayahnya?" lbu Laras menunduk. Kemudian ibuku
menarik tanganku, mengajakku pulang. Di rumah, lbu menasehatiku agar
nggak bertanya seperti itu lagi pada Laras dan ibunya.
Bertahun-tahun
aku dan Laras bertetangga. Sekarang, aku dan Laras udah kelas XII SMA.
Dan, kami selalu satu sekolah, meski nggak selalu satu kelas.
Seiring berjalan waktu, aku tau kalo ayah Laras meninggalkannya dan ibunya tanpa alasan yang jelas. Laras sendiri yang cerita!
Di
antara aku dan Laras emang hampir nggak ada rahasia lagi. Semua hal
tentang aku, Laras tau. Begitu pula sebaliknya. Tahi lalat di
punggungnya, aku tau. Luka jahit di paha kananku, dia pun tau. Malah,
kami sering mandi bareng. Tapi, itu dulu, waktu kami masih kecil.
Laras
selalu bilang kalo dia percaya sepenuhnya padaku. Aku juga bilang
begitu kepadanya, kecuali dua hal: sudut rahasia di perpustakaan itu dan
perasaan cintaku. Masalah sudut rahasia, aku nggak bilang karena aku
butuh tempat yang benar-benar bebas gangguan. Sementara masalah perasaan
cinta, aku nggak bilang karena aku pikir belum waktunya! Lagian, aku
belum tau Laras punya pacar atau nggak.
Pernah suatu kali aku bertanya pada Laras, “Kamu punya pacar nggak sih?”
“Hahaha...,” dia hanya tertawa.
Aku ulangi lagi pertanyaan tadi. Kali ini dia menjawab, “Rahasia!”
Kemudian,
dia memukuli tubuhku dengan bantalnya, lalu menggoda, “Monik apa
kabarnya? Shanty? Nina? Surat cinta Nina udah dibales?”
Sial!
Ngomong-ngomong tentang cinta, Laras emang tau banyak tentang kisah cintaku. Bahkan, sering kali dia lebih tau dibandingkan aku!
Aku
nggak pernah tau kalo Nina, teman sekolahku, sebenarnya naksir aku. Aku
pikir dia sering nanya rumus Fisika padaku karena emang nggak tau.
Ternyata, itu cuma pura-pura! Sebab, akhirnya Nina mengakui dalam surat
cinta yang diselipkannya di buku catatanku.
Laras? Dia udah bilang kepadaku mengenai dugaannya kalo Nina naksir aku sejak awal. Hanya aja, aku nggak percaya.
Itu
baru satu contoh. Contoh lain, Laras juga tau kalo aku selalu menolak
cewek-cewek di sekolah yang menyatakan cintanya padaku. Cuma, Laras
nggak pernah memberi respon, walau hanya sekadar bertanya kenapa aku
menolak cewek-cewek itu!
Hmmmm..., seandainya aja dia nanya, aku pasti akan berterus terang menjawab, “Karena aku cinta kamu, ‘Ras!”
Tiga
bulan yang lalu, aku sempat bertanya pada Dinar, teman sebangku Laras,
tanpa sepengetahuannya, “Laras pernah cerita tentang cowoknya nggak,
‘Nar?”
Dinar menggelengkan kepala.
“Atau, ada cowok yang lagi dia taksir?”
Dinar
kembali menggelengkan kepalanya. Nggak lama Dinar berkata, “Untuk yang
satu itu aku nggak berani ngomong, ‘Ndi. Kamu lebih baik tanya sendiri
ke Laras. Oke?”
Aku mengangguk pelan. Pikiranku penuh dengan
dugaan. Laras bisa jadi udah punya pacar. Tapi, siapa? Sering kali malem
Minggu pun aku dan Laras habiskan bersama kok!
Hah! Apa mungkin pacarnya tinggal jauh? Kalo iya, kenapa selama ini dia nggak pernah cerita?
Aaakh..., nggak tau! Bingung! Penasaran!
Yang
pasti, makin hari aku makin berusaha lebih dekat dengan Laras.
Mengerjakan PR bersama, memeriksa agendanya, memantau kegiatannya, sampe
menemaninya berbelanja. Investigasi, aku menyebutnya. Aku pengen banget
tau dia dekat dengan cowok mana aja selain aku.
Sayang,
investigasiku berjalan sia-sia. Hampir sembilan puluh hari aku nggak
kunjung menemukan tanda-tanda Laras dekat dengan cowok lain secara
istimewa. Yang tampak kasat mata hanya ada lima cowok yang dekat dengan
Laras. Aku, Andri (teman satu kelompok praktikum Biologi), Rendra,
Damian (teman ekskul Karate), sama Mang Udjang (tukang kebon di
rumahnya)
Kenyataan ini membuat rasa penasaranku makin membuncah.
Pengen banget rasanya aku mengecek email Laras untuk mencari tau
kemungkinan dia pacaran jarak jauh. Tapi, itu tentu mustahil aku
lakukan! Aku emang tau email add-nya, cuma kan nggak tau password-nya!
Lagi pula, setahuku Laras bukan internet mania. Friendster dan
Myspace-nya aja udah last login lebih dari tiga minggu lamanya.
Saat
Laras mandi, aku mengendap-endap di kamarnya. Merambah tas, meja
belajar, laci, hingga lemarinya. Aku berharap menemukan satu surat cinta
atau sekadar petunjuk pada siapa Laras menjatuhkan cintanya. Tiga kali
investigasi kamar Laras tetap berbuah hasil yang nihil!
Aku mengangkat kedua tanganku. Menyerah! Biar aja deh.... Nanti kalo udah waktunya, aku pasti akan tau sendiri.
Fuiiih ... ! Laras pintar menyimpan rahasia cintanya, seperti aku merahasiakan sudut rahasiaku di perpustakaan sekolah.
***
Matahari
berada tepat di tengah ubun-ubun. Panas luar biasa! Keringat mengucur
deras membasahi kepala dan leherku. Kelas Bahasa Indonesia kosong, tapi
gerbang sekolah belum dibuka. Aku memutuskan untuk menyepi kembali di
sudut rahasia.
Aku mengambil kursi dan duduk di pojoknya. Kancing
kemeja aku buka dua. Udara sejuk mendinginkan kepalaku. Mendengarkan
lagu Travis mungkin menambah sejuk suasana. Sayang, perpustakaan
sekolah, bukan kamarku. Ada aturan yang harus aku taati juga.
Keringatku
pelan-pelan mengering. Udara terasa makin dingin. Suasana semakin
melangut. Aku terkantuk-kantuk…. Kusandarkan lebih dekat punggungku
dengan tembok. Sebuah majalah lama tangkupkan menutupi muka. Semoga
nggak ada yang ngegepin aku tertidur di sini.
“Tapi dia udah terlalu dekat dengan kamu.”
“Aku nggak ada perasaan apa-apa.”
“Aku takut kamu berubah.”
“Untuk apa aku berubah?”
“Dia makin dekat dengan kamu!”
“Aku sahabatnya.”
“Tapi dia cinta sama kamu.”
“Apa aku bisa melarangnya?”
“Kamu jangan terlalu dekat. Dia bisa salah paham. Dia pernah membicarakannya ke aku.”
“Apa aku bisa melarangnya?”
“Tapi Andi......”
Aku
terperanjat dari tidurku. Aku masih di sudut rahasia. Aku merasa
mendengar ada suara yang menyebut namaku. Kulihat sekelilingku nggak ada
siapa-siapa. Barangkali tadi aku mimpi. Akh..., nggak!!! Suara itu
masih ada.
Aku berdiri, membenahi kancing kemejaku. Mengosokan
kedua telapak tanganku di muka agar terjaga. Aku pasang kedua telingaku
mendengar obrolan mereka. Suara Laras terdengar sangat jelas. Sementara,
suara yang satunya lagi aku dengar agak samar.
“Sedekat apapun aku dan Andi cuma sahabat.”
“Aku cinta kamu, ‘Ras. Aku takut kehilangan kamu.”
“Aku juga cinta kamu, ‘Nar. Cuma kamu.”
Laras??? Dinar???
Aku
kembali duduk dan menyandarkan tubuhku ke tembok. Masih bengong, nggak
percaya dengan obrolan yang aku dengar barusan. Aku menutup mataku.
Rasanya, aku benar-benar pengen tidur dulu. (*)
Diterbitkan dalam
Majalah Hai Edisi17-23 Maret 2008/TH XXXII No. 11