Senin, 18 Agustus 2008

Ice Coffee Mix





Seratus lima puluh mililiter ice coffee mix
Dituang ke dalam sebuah gelas plastik
Aku menyesapnya dalam keheningan malam
Dalam kesendirian

Malam sedang muram
Tak tampak bulan
Hanya lampu taman memantulkan bayanganku yang duduk di kursi taman
Hanyut dalam lamunan

Aku lelah namun berharap tak terlelap
Ice coffee mix dalam gelas plastik masih tersisa untuk disesap
Masih cukup membuatku terjaga meski hanya diam
Menghabiskan malam
Setia menunggumu
Untuk datang menepati janjimu

This poem was written in order to join "Lomba Ngeluh Gombal" by Blogfam Community. I have no clue whether I have been 'gombal" enough or not he he he. Honestly, I am not a type of romantic lad. I tried to challenge myself to be one and the poem above is the result. What do you think?

photo courtesy of 'http://blog.acehighperformancehorses.com/amajeanblog/'

Selasa, 01 April 2008

Sudut Rahasia


Masuk perpustakaan, belok ke kiri. Rak buku deret ke delapan, belok ke kanan. Di sana ada sebuah lemari kecil dengan tinggi sebahuku dan panjang lebih kurang dua meter, tempat majalah-majalah terbitan lama. Paling lama yang pernah aku baca tercatat tahun 1976. Empat belas tahun sebelum aku lahir!

Lemari selebar setengah meter itu menyisakan sedikit ruang di sudutnya. Cukup mengambil kursi, duduk, bersandar ke tembok, dan mesin pendingin udara akan menghembuskan semilir ke tubuhku. Kadang aku tertidur sejenak di sana, tanpa ada yang tau, tanpa ada yang berani mengganggu.
Sudut rahasia. Begitu aku menamainya. Sudut di mana aku bisa berkonsentrasi belajar untuk ujian. Atau, sekadar mengkhayal membuang waktu saat pelajaran kosong! Hehehe....

Yap. Tempat ini emang jarang terjamah murid-murid lain. Apalagi, murid cowok. Mereka paling males ke sini lantaran merasa nggak ada yang menarik buat dibaca. Beda dengan murid cewek. Satu-dua, masih ada cewek yang datang untuk membaca majalah baru atau buku fiksi di rak buku deret ketiga.
Sudut rahasia. Selama aku nggak mengeluarkan suara, nggak ada seorang pun yang akan tau kalo aku ada di situ. Nggak juga sahabat terdekatku, Laras.

Laras udah aku kenal sejak kecil. Sejak kelas 2 SD, seingatku. Dia murid baru di kelasku. Ketika pulang sekolah, aku menemukan ibuku dan ibu Laras udah asik ngobrol layaknya teman lama. Kata ibuku, Laras dan ibunya adalah tetangga baru di sebelah rumah.

Sore harinya, aku dan ibu berkunjung ke rumah Laras. lbu memuji potret Laras dan ibunya yang tertempel di Binding. lbu Laras tersenyum. Aku bertanya, "Kok nggak ada ayahnya?" lbu Laras menunduk. Kemudian ibuku menarik tanganku, mengajakku pulang. Di rumah, lbu menasehatiku agar nggak bertanya seperti itu lagi pada Laras dan ibunya.

Bertahun-tahun aku dan Laras bertetangga. Sekarang, aku dan Laras udah kelas XII SMA. Dan, kami selalu satu sekolah, meski nggak selalu satu kelas.

Seiring berjalan waktu, aku tau kalo ayah Laras meninggalkannya dan ibunya tanpa alasan yang jelas. Laras sendiri yang cerita!

Di antara aku dan Laras emang hampir nggak ada rahasia lagi. Semua hal tentang aku, Laras tau. Begitu pula sebaliknya. Tahi lalat di punggungnya, aku tau. Luka jahit di paha kananku, dia pun tau. Malah, kami sering mandi bareng. Tapi, itu dulu, waktu kami masih kecil.

Laras selalu bilang kalo dia percaya sepenuhnya padaku. Aku juga bilang begitu kepadanya, kecuali dua hal: sudut rahasia di perpustakaan itu dan perasaan cintaku. Masalah sudut rahasia, aku nggak bilang karena aku butuh tempat yang benar-benar bebas gangguan. Sementara masalah perasaan cinta, aku nggak bilang karena aku pikir belum waktunya! Lagian, aku belum tau Laras punya pacar atau nggak.

Pernah suatu kali aku bertanya pada Laras, “Kamu punya pacar nggak sih?”

“Hahaha...,” dia hanya tertawa.

Aku ulangi lagi pertanyaan tadi. Kali ini dia menjawab, “Rahasia!”

Kemudian, dia memukuli tubuhku dengan bantalnya, lalu menggoda, “Monik apa kabarnya? Shanty? Nina? Surat cinta Nina udah dibales?”

Sial!

Ngomong-ngomong tentang cinta, Laras emang tau banyak tentang kisah cintaku. Bahkan, sering kali dia lebih tau dibandingkan aku!

Aku nggak pernah tau kalo Nina, teman sekolahku, sebenarnya naksir aku. Aku pikir dia sering nanya rumus Fisika padaku karena emang nggak tau. Ternyata, itu cuma pura-pura! Sebab, akhirnya Nina mengakui dalam surat cinta yang diselipkannya di buku catatanku.

Laras? Dia udah bilang kepadaku mengenai dugaannya kalo Nina naksir aku sejak awal. Hanya aja, aku nggak percaya.

Itu baru satu contoh. Contoh lain, Laras juga tau kalo aku selalu menolak cewek-cewek di sekolah yang menyatakan cintanya padaku. Cuma, Laras nggak pernah memberi respon, walau hanya sekadar bertanya kenapa aku menolak cewek-cewek itu!

Hmmmm..., seandainya aja dia nanya, aku pasti akan berterus terang menjawab, “Karena aku cinta kamu, ‘Ras!”

Tiga bulan yang lalu, aku sempat bertanya pada Dinar, teman sebangku Laras, tanpa sepengetahuannya, “Laras pernah cerita tentang cowoknya nggak, ‘Nar?”

Dinar menggelengkan kepala.

“Atau, ada cowok yang lagi dia taksir?”

Dinar kembali menggelengkan kepalanya. Nggak lama Dinar berkata, “Untuk yang satu itu aku nggak berani ngomong, ‘Ndi. Kamu lebih baik tanya sendiri ke Laras. Oke?”

Aku mengangguk pelan. Pikiranku penuh dengan dugaan. Laras bisa jadi udah punya pacar. Tapi, siapa? Sering kali malem Minggu pun aku dan Laras habiskan bersama kok!

Hah! Apa mungkin pacarnya tinggal jauh? Kalo iya, kenapa selama ini dia nggak pernah cerita?

Aaakh..., nggak tau! Bingung! Penasaran!

Yang pasti, makin hari aku makin berusaha lebih dekat dengan Laras. Mengerjakan PR bersama, memeriksa agendanya, memantau kegiatannya, sampe menemaninya berbelanja. Investigasi, aku menyebutnya. Aku pengen banget tau dia dekat dengan cowok mana aja selain aku.

Sayang, investigasiku berjalan sia-sia. Hampir sembilan puluh hari aku nggak kunjung menemukan tanda-tanda Laras dekat dengan cowok lain secara istimewa. Yang tampak kasat mata hanya ada lima cowok yang dekat dengan Laras. Aku, Andri (teman satu kelompok praktikum Biologi), Rendra, Damian (teman ekskul Karate), sama Mang Udjang (tukang kebon di rumahnya)

Kenyataan ini membuat rasa penasaranku makin membuncah. Pengen banget rasanya aku mengecek email Laras untuk mencari tau kemungkinan dia pacaran jarak jauh. Tapi, itu tentu mustahil aku lakukan! Aku emang tau email add-nya, cuma kan nggak tau password-nya! Lagi pula, setahuku Laras bukan internet mania. Friendster dan Myspace-nya aja udah last login lebih dari tiga minggu lamanya.
Saat Laras mandi, aku mengendap-endap di kamarnya. Merambah tas, meja belajar, laci, hingga lemarinya. Aku berharap menemukan satu surat cinta atau sekadar petunjuk pada siapa Laras menjatuhkan cintanya. Tiga kali investigasi kamar Laras tetap berbuah hasil yang nihil!

Aku mengangkat kedua tanganku. Menyerah! Biar aja deh.... Nanti kalo udah waktunya, aku pasti akan tau sendiri.

Fuiiih ... ! Laras pintar menyimpan rahasia cintanya, seperti aku merahasiakan sudut rahasiaku di perpustakaan sekolah.

***

Matahari berada tepat di tengah ubun-ubun. Panas luar biasa! Keringat mengucur deras membasahi kepala dan leherku. Kelas Bahasa Indonesia kosong, tapi gerbang sekolah belum dibuka. Aku memutuskan untuk menyepi kembali di sudut rahasia.

Aku mengambil kursi dan duduk di pojoknya. Kancing kemeja aku buka dua. Udara sejuk mendinginkan kepalaku. Mendengarkan lagu Travis mungkin menambah sejuk suasana. Sayang, perpustakaan sekolah, bukan kamarku. Ada aturan yang harus aku taati juga.

Keringatku pelan-pelan mengering. Udara terasa makin dingin. Suasana semakin melangut. Aku terkantuk-kantuk…. Kusandarkan lebih dekat punggungku dengan tembok. Sebuah majalah lama tangkupkan menutupi muka. Semoga nggak ada yang ngegepin aku tertidur di sini.

“Tapi dia udah terlalu dekat dengan kamu.”

“Aku nggak ada perasaan apa-apa.”

“Aku takut kamu berubah.”

“Untuk apa aku berubah?”

“Dia makin dekat dengan kamu!”

“Aku sahabatnya.”

“Tapi dia cinta sama kamu.”

“Apa aku bisa melarangnya?”

“Kamu jangan terlalu dekat. Dia bisa salah paham. Dia pernah membicarakannya ke aku.”

“Apa aku bisa melarangnya?”

“Tapi Andi......”

Aku terperanjat dari tidurku. Aku masih di sudut rahasia. Aku merasa mendengar ada suara yang menyebut namaku. Kulihat sekelilingku nggak ada siapa-siapa. Barangkali tadi aku mimpi. Akh..., nggak!!! Suara itu masih ada.

Aku berdiri, membenahi kancing kemejaku. Mengosokan kedua telapak tanganku di muka agar terjaga. Aku pasang kedua telingaku mendengar obrolan mereka. Suara Laras terdengar sangat jelas. Sementara, suara yang satunya lagi aku dengar agak samar.

“Sedekat apapun aku dan Andi cuma sahabat.”

“Aku cinta kamu, ‘Ras. Aku takut kehilangan kamu.”

“Aku juga cinta kamu, ‘Nar. Cuma kamu.”

Laras??? Dinar???

Aku kembali duduk dan menyandarkan tubuhku ke tembok. Masih bengong, nggak percaya dengan obrolan yang aku dengar barusan. Aku menutup mataku. Rasanya, aku benar-benar pengen tidur dulu. (*)

Diterbitkan dalam Majalah Hai Edisi17-23 Maret 2008/TH XXXII No. 11

Sabtu, 01 Maret 2008

Venustraphobia: Takut Pada Luna Maya dan Jessica Alba


Kok bisa berkeringat dan pingsan ketika melihat Luna Maya? Bagaimana pula kalau dipaksa berdiri di depan barisan finalis Miss Universe? Inilah venustraphobia.

Oleh: Aries Setiadi

Venustraphobia adalah (jangan kaget!) fear of beautiful women. Rasa takut yang berlebihan terhadap perempuan cantik. Bagi sebagian perempuan, venustraphobia bisa jadi suatu anugerah. Perempuan tak perlu lagi mengejar kecantikan. Toh, ada pria yang justru takut dengan perempuan cantik. Tapi dari sudut pandang pria, venustraphobia adalah jelas adalah sebuah masalah besar. Bayangkan jika seorang pria hendak menonton film di bioskop dan di antara antrian terdapat sekelompok perempuan yang cantik dan jelita. Lalu si pria bukan merespon dengan siulan, tapi justru keringat dingin serta tubuh yang gemetar, kepala pusing, nafas megap-megap, dan berakhir dengan pingsan. Masalah besar, bukan?

Phobia
Phobia didefinisikan sebagai rasa takut yang tidak rasional atas suatu obyek, situasi, atau aktivitas yang spesifik. Yang perlu diberi penekanan adalah frasa ‘tidak rasional’. Pada kasus phobia, rasa takut dipicu oleh stimuli yang tidak benar-benar menakutkan atau mengancam keselamatan diri. Jika stimulan tersebut memang benar-benar berbahaya atau mengancam keselamatan diri, namanya bukan phobia lagi, melainkan rasa takut yang rasional dan wajar.

Pusing dengan maksudnya? Sederhananya seperti ilustrasi berikut ini. Alkisah, seorang pria pergi bersafari ke Afrika. Di tengah rimba, mobilnya mogok, lalu tiba-tiba datang segerombolan singan, mereka mengaum lapar dan mengejar si pria hingga lari tunggang langgang dengan ketakutan, Ini rasa takut yang rasional dan wajar. Namun jadi tidak wajar jika si pria menonton Discovery Channel, lalu singa Afrika muncul dalam tayangan, kemudian si pria merasa ketakutan, keringatan, sesak nafas, hingga hampir pingsan, inilah ketakutan yang tak rasional, phobia.

Para guru dan suhu dibidang psikologi masih berdebat mengenai pengaruh genetika, evolusi, hingga trauma terhadap asal-muasal phobia tertentu pada seseorang. Namun mereka semua sepakat bahwa phobia memiliki dampak yang besar terhadap kualitas hidup si penderita. Terlebih kuantitas penderita phobia juga relatif tidak sedikit. Secara statistik, diestimasi 1 diantara 23 orang menderita phobia yang terdiri dari berbagai jenis phobia. Dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders jilid IV, jenis phobia digolongkan dalam 3 kategori yaitu:

Pertama, agoraphobia. Rasa takut terhadap keramaian dengan obyek rasa takut tidak berfokus pada keramaiannya, melainkan pada berbagai kemungkinan yang bisa muncul tiba-tiba dalam keramaian. Penderita agoraphobia akan merasa ketakutan, tidak peduli sekedar antrian di bioskop atau hanya sebuah resepsi pernikahan. Setiap terserang rasa takut, penderita tidak bisa ditenangkan dengan pendekatan rasional.

Kedua, social phobia. Phobia terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Penderita social phobia merasakan ketakutan yang berlebihan sehingga mereka menghindari situasi sosial atau menghadapinya dengan penuh tekanan. Keadaan-keadaan yang sering memicu terjadi ketakutan pada penderita social phobia antara lain: berbicara atau tampil di depan umum, makan di depan orang lain, bahkan menggunakan kamar mandi umum. Penderita merasa penampilan atau tindakan mereka tidak tepat dan berujung pada rasa takut yang berlebihan.

Ketiga, specific phobia. Specific phobia merupakan penyakit kecemasan yang paling sering terjadi. Penderita spesific phobia mengalami ketakutan yang luar biasa terhadap obyek, situasi, atau aktivitas tertentu. Phobia ini banyak jenisnya. Mulai dari phobia yang wajar seperti phobia pada laba-laba, ular, atau ketinggian; phobia yang agak aneh seperti pada kucing atau naik mobil; hingga phobia pada Luna Maya dan Jessica Alba.

Venustraphobia
Venustraphobia (disebut juga caligynephobia), merupakan rasa takut yang berlebihan terhadap perempuan cantik. Sama halnya dengan phobia jenis lain, venustraphobia disebabkan oleh stimulan yang tidak wajar dan tidak membahayakan jiwa. Menurut sejumlah penelitian yang pernah dilakukan, venustraphobia disebabkan oleh kejadian atau pengalaman buruk yang berkaitan dengan perempuan cantik yang menyebabkan trauma psikologis pada si penderita. Trauma ini bisa terjadi secara langsung dan nyata pada si penderita atau sekedar stimulan yang tidak dirasakan langsung, seperti menonton adegan dalam film atau bahkan mendengar pengalaman traumatis dari orang lain.

Sarlito Wirawan Sarwono, Psikolog, mengatakan sebenarnya venustraphobia atau phobia terhadap perempuan cantik tidak pernah secara eksklusif dikategorikan sebagai kelainan tersendiri. Maksimum gejala tersebut hanya merupakan bagian dari perasaan tidak percaya diri atau rendah diri (inferiority feeling), perasaan takut ditolak, takut tidak diterima, atau takut gagal dalam membina hubungan dengan perempuan cantik tersebut.

Permasalahan terdapat pada sisi psikis si pria. “Jadi sebenarnya pria itu takut pada dirinya sendiri, karena sepanjang saya tahu tidak ada perempuan cantik yang menakutkan,” tambah Sarlito.

Namun bukan berarti phobia ini tidak eksis. Sebuah penelitian mengklaim bahwa diestimasi 0,47 persen pria di Inggris dan 0,61 persen pria di Amerika telah terserang gejala venustraphobia. Masalahnya muncul dalam hubungan percintaan hingga dengan rekan kerja dan bisnis. Venustraphobia berefek samping pada menurunnya aktivitas sosial si penderita seiring dengan terjadinya penghindaran komunikasi dengan setiap perempuan cantik oleh si penderita tersebut.

Penelitian yang lain menyatakan venustraphobia lebih banyak diderita oleh pria dari kalangan menengah ke atas. Penyebabnya sepaham dengan pernyataan Sarlito, sikap inferiority feeling. Semangat feminisme dalam beberapa dekade terakhir telah melahirkan banyak perempuan yang menjadi pemimpin di perusahaan. Terutama dalam bidang kerja seperti public relation dan marketing, di mana perempuan cantik acap kali mendominasi puncak jabatan. Para pria yang kadung mengecap dirinya jagoan tapi kemudian kalah tanding, akhirnya mengalami perasaan rendah diri dan berlanjut dengan sikap menghindar dari perempuan cantik. Hingga pada suatu titik, perasaan-perasaan si penderita akan terakumulasi menjadi phobia.

Penderita venustraphobia bisa saja tinggal berdiam diri di rumah, tidak nonton televisi, tidak baca majalah, cukup baca koran yang jarang ada gambarnya, dan suruh pembantu untuk belanja segala rupa. Untungnya belum ada perempuan secantik Mariana Renata yang jadi pembantu rumah tangga.

Banyak Jalan Menuju Pemulihan
Para pakar psikologi sepakat jika venustraphobia menurunkan kualitas hidup penderitanya dan harus dipulihkan. Berbagai metode pemulihan kemudian diciptakan. Mulai dari hipnoterapi, neuro-linguistic programming, hingga energy psychology. Jalannya berbeda-beda, tetapi tujuan akhirnya sama: menghilangkan rasa takut.

Hipnoterapi dilakukan untuk memprogram ulang alam bawah sadar penderita dengan bantuan terapis atau psikolog sebagai mediator. Ketika rasa takut tersebut telah diprogram ulang, gejala venustraphobia akan ditekan hingga taraf minimum. Terapi ini relatif aman dan bereaksi secara cepat. Namun seringkali ada perasaan tidak nyaman pada si penderita ketika ada orang lain (dalam hal ini terapis atau psikolog) mengambil kontrol atas dirinya.

Neuro-linguistic programming secara sederhana adalah suatu proses membentuk realitas diri si penderita. Metode pemulihan ini menggunakan kekuatan imajinasi untuk memprogram ulang rasa takut pada si penderita. Dalam sudut pandang neuro-linguistic programming, phobia adalah hasil dari proses yang tidak berjalan dengan semestinya. Neuro-linguistic programming kemudian akan membenahi proses yang ‘menyimpang’ hingga venustraphobia akan ditekan atau bahkan dihilangkan.

Energy psychology merupakan suatu terapi pemulihan yang menggabungkan berbagai macam bentuk pemulihan terhadap phobia. Adapula yang menyebutnya sebagai ‘akupuntur’ emosi. Metode pemulihan ini dinilai bereaksi secara cepat dan bekerja secara aman.

Ada pula metode pemulihan lain, seperti menggunakan obat anti-depresi, terapi bicara, atau cognitive behavior therapy. Dalam beberapa kasus, penderita dapat memilih salah satu metode pemulihan, mencoba, dan sembuh. Namun pada kasus lain, penderita perlu mencoba beberapa metode hingga menemukan ‘jodoh’ yang tepat untuk membantu pemulihan. Diagnosa dini terhadap venustraphobia akan lebih memudahkan pemulihan.

Apakah Anda pernah terkena sindroma rasa takut ketika melihat Luna Maya di layar kaca? Apakah Anda lemas ketika melihat Jessica Alba tersenyum. Jika iya, segeralah kontak psikolog (yang tidak cantik). Tapi jika tidak, puji syukur pada Yang Maha Kuasa. Saya juga bersyukur tidak terkena venustraphobia. Meski mungkin perempuan cantik yang takut pada saya, he he he….

(*)

Diterbitkan dalam SOAP Magazine (R.I.P) February 2008 Issue

Senin, 31 Desember 2007

Antara Olimpiade Sains dan Harry Potter

Sebelum membaca, ucapkan mantra: Lumos*.

Ada yang menarik perhatian ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan pidato sambutan pembukaan Internasional Junior Science Olympiad (IJSO) II di hadapan 329 peserta di gedung Senisono Kompleks Istana Negara Gedung Agung Yogyakarta, 5 Desember 2005 lalu. Dalam pidato pembukaan tersebut, Presiden SBY menyebutkan, “IJSO kali ini mengingatkan saya pada film Harry Potter yang penuh dengan kompetisi. Hanya sayangnya, film itu adalah fantasi, sementara dalam ajang IJSO kali ini adalah riil. Tapi untuk kompetisinya, tirulah Harry Potter.”

Menurut Presiden SBY, Harry Potter adalah sosok anak muda yang jenius dan berani. Oleh karena itu, Presiden SBY meminta kepada peserta IJSO II yang semuanya masih tergolong anak muda agar meniru sosok tersebut. Alasannya, sosok anak muda dalam novel dan film Harry Potter layak untuk dicontoh. Yang perlu dicontoh tentunya bukan keahliannya dalam menyihir, tetapi dalam kompetisi yang sehat dan pengembangan imajinasi yang luar biasa.

Mendengar apa yang dikatakan Presiden SBY, memang masuk akal jika sains sesungguhnya juga merupakan hal yang menghibur. Sains itu menyenangkan. Sama seperti menikmati novel ataupun film yang menampilkan tokoh imajinatif karya J.K. Rowling tersebut. Sains adalah kegiatan mencetuskan ide, mengeksplorasi, mengobservasi, dan memahami apa yang telah kita temukan dalam eksplorasi dan observasi tersebut.

Memahami sains (termasuk didalamnya matematika, fisika, kimia, dan biologi) memang bukan perkara yang mudah. Perlu kesabaran, ketekunan, dan kerja keras dalam mempelajarinya. Belum lagi materi yang tergolong dalam sains biasanya menjadi momok yang mengerikan bagi mayoritas anak muda. Rendra Prasetyo, peraih medali perak dalam International Chemisty Olympiad 2005 mengatakan rumus ia dalam mempelajari kimia, “dipelajarin aja. Diulang-ulang....nanti kan jadi bisa.” [lihat rubrik sosokdalam Sagasitas Scientific Journal Edisi 3 Tahun 2005]. Buktinya, Rendra mampu membuktikan dirinya mamapu berprestasi di tingkat dunia.

Namun bukan berarti pula bahwa memahami sains hanya bisa dilakukan di laboratorium dan hanya ditujukan untuk perlombaan semata. Esensi sains itu sendiri adalah memahami segala sesuatu yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Bukankah tinta tulisan bisa menempel pada kertas ini juga sebuah bentuk sains? Atau pernah disadari bahwa film Harry Potter yang diputar dengan pita seluloid memanfaatkan rumus fisika dalam perputarannya? Maka sains sesungguhnya tidak dipisahkan dengan kehidupan kita. Dan sains sendiri bias menjadi sumber hiburan kita. Barangkali ketakutan kita akan sains lebih dikarenakan sains selama ini terkesan berorientasi laboratorium. Padahal tidak selalu. Sebagai contoh, di Inggris, pemutaran film Harry Potter bahkan dilakukan di The Science Museum of London. Ini menunjukan bahwa sains juga dapat bersatu padu dengan hiburan.

Sains memang bukan ilmu sihir yang sekali ucap mantra bisa diingat selamanya. Sains adalah sebuah rangkaian proses belajar yang harus dilakukan dengan ketekunan, kesabaran, kerja keras, dan tidak boleh dilupakan: menghibur dan menyenangkan. Jika kita tekun, tidak mustahil jika kita dapat berprestasi dibidang sains. Hasil yang diperoleh tentu akan membanggakan. Jadi, siap untuk ikut olimpiade sains? Tapi hati-hati jangan sampai, setelah belajar, mengucapkan mantra: Obliviate**.

Oleh Aries Setiadi

* Mantra untuk menyalakan lampu dalam cerita Harry Potter.
** Mantra untuk menghapus ingatan dalam cerita Harry Potter.

Tulisan ini dimuat dalam Sagasitas Scientific Journal.

Rabu, 01 Agustus 2007

Communicating Corporate Social Responsibility: To comunicate or to advertise?

Corporations are realizing that although they were accountable only to shareholders or owners in the past, they are becoming increasingly accountable to a broader range of stakeholders now.

A paradigm shift is on the move, from accountability to shareholders to accountability to stakeholders. In the past, corporations have considered their social responsibility to be adequate if they made a profit, provided jobs, and perhaps had a donations policy. But, Leonard J. Brooks on his book entitled Business & Professional Ethics noted, the world has changed, and now stakeholders expect more. Labor, society, and environment have become an integral part of a corporation. It means corporation also have to put responsibility on them and all the things sum up into a concept known Corporate Social Responsibility (CSR).

For several years, specific companies and industries have disclosed their performance on dimensions that they know their stakeholders are interested in. For example, there are many corporate repots on environmental performance, and on health and safety performance. Many corporations are including these reports on their websites as well as issuing hard copies, or further advertise them. Brooks noted that the most noteworthy comprehensive CSR reports that have been made public are those from The Body Shop, The Co-operative Bank (United Kingdom), and VanCity Credit Union. And the debates begin.

Advertising CSR is viewed from two different sides. First, the one sees advertising is a way to report what a corporation has done to the public—as a part of responsibility and accountability to a public. It is also a part of marketing tools. The society (read: customer and/or consumer) are being aware and concern on CSR. They will prefer to use or consume products that are produced by socially responsible corporations. The other side sees that advertising CSR has been twisted. They agreed that CSR have to be reported to the public, but debated on how the corporation reports it. Budi Wahyuni, a Non Government Organization activist, in a Corporate Social Responsibility seminar*, said most corporations advertise its CSR programs only those support marketing campaign of the product. She noted a corporate produces hand and body wash soap that advertises the corporate support to build sanitary facility in a rural school. The value of the support is much less than the cost of the company to advertise it on mass media. She questioned whether that was a CSR program or a pure advertisement.

The argument above is logical. It also should be questioned why the corporation only put CSR program into several products those are produced by them, and criticized that, on the contrary, another several products use a tend-into-discrimination campaign (directly demonstrate that a white lady more beautiful than the others, shown by a man chose the whitest lady among three). The Sustainability Reporting Guidelines [Delhi] G3 version, Global Reporting Initiative** on January 2006 noted that Marketing Communication is also has to be socially responsible. The guidelines include that aspect into a chapter noted as Product Responsibility (PR).

It is true that CSR is more than giving a donation. Corporate Social Responsibility is running in every single part of the corporation, from the production, labor practices, society, environment, to public communication.


-Aries Setiadi-


*Seminar on Corporate Social Responsibility was held in March 25, 2006 at Auditorium Magister Managemen, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta organized by Ikatan Keluarga Mahasiswa Manajemen (IKAMMA), Faculty of Economics, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

** Global Reporting Initiative can be viewed at http://www.grig3.org.