Pulang ke kotamu..ada setangkup haru dalam rindu..masih seperti dulu..tiap sudut menyapaku bersahabat..
(Katon Bagaskara dalam cuplikan lagu Yogyakarta).
Sebait
lirik lagu diatas adalah lukisan kekaguman Sang Musisi terhadap
Yogyakarta yang sering dijuluki sebagai kota budaya dan kota pelajar,
bagi orang-orang yang tinggal di kota ini atau bagi yang hanya sekedar
singgah, tentunya akan merasakan kesan yang serupa. Aura dan nuansa
budaya tradisional di kota ini dulunya begitu mengendap dalam benak
siapa saja yang ada didalamnya. Tetapi seiring waktu berjalan, sisi-sisi
tradisional mulai semakin ditinggalkan. Apa gerangan yang terjadi di
kota ini?
Tak dapat dipungkiri jika kini Yogyakarta semakin tidak
jauh beda dengan Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Jalanan semakin
macet, polusi yang melebihi ambang batas, ratusan papan iklan yang
angkuh menghiasi sepanjang jalan, dan beberapa mal megah mulai menggeser
keberadaan sisi tradisionalitas Yogyakarta. Seperti sebuah lagu yang
terlupakan, keindahan lirik lagu Yogyakarta kini mulai dipertanyakan.
Masihkah keindahan kota ini meninggalkan kesan?
Mal: Sensasi baruAkhir-akhir
ini, Kota Yogyakarta seolah sedang bergeliat melakukan revolusi untuk
menjadi kota (yang ingin disebut) modern. Pembangunan sarana
infrastruktur digalakkan dan pertumbuhan ekonomi dipompa. Konon katanya,
semua itu dilakukan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
yang diharapkan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan yang
tidak terlalu muluk-muluk.
Berbagai aksi mulai dirancang dan
diberlakukan untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan tersebut.
Pembangunan mal dianggap sebagai salah satu cara untuk menggapainya.
Pembagunan mal-mal diharapkan dapat menarik investasi berskala besar.
Gayung bersambut ketika akhirnya investor mal mulai berdatangan ke
Yogyakarta. Bahkan, disusul dengan maraknya investasi di bidang
perumahan. Namun, rasanya ini sedikit melenceng dari sasaran. Sekali
lagi pertanyaan diajukan, apakah pembangunan mal meningkatkan
kesejahteraan masyarakat? Masyarakat mana?
Galeria Mall, Mal
Malioboro, Ramai Mall, dan kelak disusul oleh Plaza Ambarukmo, Saphir
Square, Hypermarket Makro, franchise Marvin Reeves Trade Center,
Jogjatronik, Rekso Arcade, Kedaung, bahkan Gama Plaza milik PT. Gama
Multi Usaha Mandiri (salah satu unit bisnis Universitas Gadjah Mada)
akan menambah deretan panjang mal-mal yang mengisi kota kecil bernama
Yogyakarta ini. Konsumennya jelas masyarakat umum. Apalagi di Yogyakarta
tertampung ribuan pelajar dan mahasiswa pendatang, pangsa yang menarik
untuk dibidik. Menengah keatas? Tidak juga. Masyarakat menengah ke bawah
pun tidak mau ketinggalan untuk bertandang ke mal. Ciri khas mal yang
menawarkan kenyamanan, keleluasaan, pengemasan menarik, dan harga yang
bersaing memang menjadi daya pikat utama dari sebuah mal.
Informasi
dari media kapitalis turut berperan akan tumbuhnya tingkat konsumsi di
pusat perbelanjaan one stop shopping ini. Reklame-reklame pusat
perbelajaan yang menyuguhkan simbol kepercayaan diri dan gaya hidup masa
kini menjadi sebuah imagologi bagi para konsumennya. Mal kini telah
menjadi sebuah ikon yang diasosiasikan dengan tren terbaru, cita rasa
tinggi, gengsi, modernitas, dan globalisasi. Pun, semua itu seolah wajib
diikuti.
Hal ini tidak dapat diingkari. Dalam buku ‘Ectasy Gaya
Hidup’ disebutkan bahwa masyarakat cenderung terserap dalam keperkasaan
kebudayaan pop yang kian hegemonik dengan segala atributnya. Gaya hidup
kini telah menjadi komoditas. Sayangnya, kebanyakan orang tampak lebih
mementingkan “kulit” daripada “isi.” Disinilah muncul istilah hedonisme
yang konon disebabkan perkembangan ekonomi yang pesat. Mungkin ini
menjadi konsekuensi logis bagi tujuan perekonomian kita.
Mal
memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Implikasi positif yang
dimunculkan juga ada. Terserapnya tenaga kerja, pendapatan daerah yang
melambung, atau meningkatnya investasi. Tapi ini tidak sebanding dengan
implikasi negatif yang ditimbulkan. Kriminalitas, kemacetan yang pada
ujungnya meningkatkan polusi, atau bahkan musnahnya pasar tradisional
karena keberadaannya semakin terpinggirkan. Hal ini dibenarkan Agus
Miftahus Surur, pengamat ekonomi dan peneliti dari Surabaya. “Inilah
deretan implikasi dari sekian banyak persoalan yang cenderung
mengutamakan kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Tujuan
mensejahterakan masyarakat pun menjadi kabur. Mayoritas masyarakat
Yogyakarta bergelut di sektor informal yang termasuk pula didalamnya
pedagang kecil dan menengah. Apa untungnya masyarakat lokal Yogyakarta
dengan bertambahnya mal. Yang justru bertambah banyak adalah dampak
negatifnya. Sifat konsumtif masyarakat yang bertambah tinggi,
tergesernya lahan-lahan publik (bahkan sebuah bangunan Sekolah Dasar
dalam pembangunan Plaza Ambarukmo), dan bergugurannya pengusaha kecil
karena tidak mampu bersaing. Pemerintah daerah (pemda) seharusnya
bersikap melindungi masyarakat.
Pemda seharusnya waspada.
Pertumbuhan mal-mal dapat mengurangi daya tarik wisata Yogyakarta.
Yogyakarta sudah kadung terkenal dan dikenal akan budaya dan
pendidikannya. Jika ingin menjadi pusat wisata belanja rasanya kurang
tepat. Bersaing dengan Bandung yang sudah terkenal dengan factory
outlet, jeans, dan produk sepatunya akan sulit. Apalagi jika
dibandingkan dengan Orchad Road di Singapura. Yogyakarta lebih tepat
jika dikembangkan sektor budaya dan pendidikannya. Kita bisa berkaca
pada Perancis. Bangunan-bangunan bergaya kuno di Perancis masih
dipertahankan, museum-museum diperbaiki, pusat informasi pariwisata
diperkaya, dan universitas-universitas dengan jurusan seni ditingkatkan
kualitasnya. Hasilnya, bisa disaksikan dunia. Yogyakarta mungkin
sebaiknya mengambil pelajaran dari Perancis. Hal ini sebenarnya sudah
sering disampaikan banyak pihak. Sejumlah seniman pernah menentang
pembangunan mal dengan menggelar performance art di beberapa tempat pada
bulan Oktober 2004 lalu.
Investor mal pun sebenarnya sudah
seharusnya waspada. Sudah benarkah mereka membuat sebuah studi kelayakan
usaha? Perlu diingat bahwa Yogyakarta adalah sebuah daerah yang tidak
terlalu luas. Disamping itu, pangsa pasar yang mereka bidik dirasa
kurang tepat. Rata-rata pengunjung mal, yaitu pelajar dan mahasiswa
adalah pengunjung yang sekedar ingin berekreasi (window shopping), bukan
berbelanja.
Yang berperan sepenuhnya disini memang konsumen,
konsumen memiliki hak istimewa untuk memilih mal atau menoleh kembali
pada pasar tradisional?
Pasar Tradisional : Sebuah harapanSuasana
‘Indonesia sebenarnya’ dapat dirasakan dalam sebuah pasar tradisional.
Nuansa gemeinschaft (kebersamaan) dan kekeluargaan begitu melekat
didalamnya. Itulah isi dari sebuah pasar tradisional. Di Yogyakarta,
terdapat banyak pasar tradisional yang memiliki corak khas tersendiri.
Pasar Kranggan, Pasar Burung Ngasem, Pasar Sepeda Terban, bahkan pasar
yang berjuang sendiri di tengah-tengah modernitas Malioboro, Pasar
Beringharjo. Menurut data Dinas Pasar Kota Yogyakarta, ada 30 pasar
tradisional yang masih eksis di kota ini, dengan total jumlah pedagang
sebanyak 12.748 jiwa. Berdasarkan jumlah pedagang dan luas bangunan,
lima pasar terbesar adalah; Pasar Beringharjo, Pasar Kranggan, Pasar
Sentul, Pasar Giwangan, dan Pasar Kotagede.
Dilihat dari akar
historisnya, pasar tradisional menjadi salah satu fondasi bagi
terbentuknya Kota Yogyakarta, sebenarnya dulu ada empat fondasi utama
yang menyangga kota ini, yang sering dianalogikan dengan catur tunggal.
Meliputi; kraton, alun-alun, pasar, dan masjid. Pasar tertua dan
terbesar di kota ini adalah pasar Beringharjo, bahkan embrio pasar ini
telah mengada sejak tahun 1758. Konon Pemerintah Hindia Belanda pernah
memberi gelar pasar ini dengan sebutan “eender mooiste passers op Java,”
artinya salah satu pasar terindah di Jawa.
Pasar tradisional
menjadi salah satu alternatif masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan
sehari-hari dengan harga yang relatif lebih murah. Untuk sebagian
masyarakat, pasar tradisional bahkan dapat dijadikan tempat rekreasi
untuk melepas kepenatan dalam kesibukan sehari-hari. Di pasar
tradisional, interaksi antara penjual dan pembeli dapat berlangsung
lebih akrab dan menawar harga suatu produk dapat memberikan kepuasan
tertentu.
Jika dikelola dengan baik, tidak mustahil pasar
tradisional akan mendatangkan keuntungan. Pasar tradisional dengan ciri
khasnya bisa menjadi komoditas wisata yang pada akhirnya juga
menguntungkan pemerintah daerah. Malah pasar tradisional dapat menjadi
trade mark suatu kota. Artinya, mendengar nama pasar tradisional orang
akan secara otomatis ingat kota di mana pasar itu berada. Misalnya Pasar
Beringharjo, orang akan ingat kota Yogyakarta, atau Pasar Kumbasari,
orang akan ingat Kota Denpasar. Karena itulah pasar tradisional dapat
dijadikan salah satu atraksi wisata kota.
Namun, kita tak jarang
mendengar sebutan becek, panas, sumpek, sempit, dan entah kata-kata
berkonotasi negatif apalagi yang biasanya dicitrakan masyarakat umum
terhadap sebuah pasar tradisional. Pasar tradisional memang memiliki
keterbatasan fisik dan terkesan semrawut. Hal ini sebenarnya masih bisa
diperbarui. Dalam permasalahan ini, menjadi tugas semua elemen untuk
memperbaruinya. Pemerintah, masyarakat, dan penghuni pasar itu sendiri.
Pasar tradisional sebaiknya mulai ditata, dirapikan, dan ditertibkan.
Sebagai gambaran, Pasar Putih di Bukittinggi, Sumatera Barat. Disana,
pasar ditata rapi, tempatnya bersih, pedagangnya ramah, nuansanya teduh,
terkadang samar-samar terdengar alunan ayat suci yang dikumandangkan
seorang tuna netra. Jauh dari kesemrawutan.
‘Isi’ memang menjadi sebuah keunggulan dari pasar tradisional yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Terlebih pasar modern.
Menilik
pembangunan dan modernisasi di kota ini, jika tidak disikapi dengan
bijaksana, tentunya akan menghilangkan identitas dan eksistensi budaya
Yogyakarta. Sunarti, seorang sosiolog yang berhasil ditemui EQ
mengungkapkan, “Apa jadinya jika kita lebih merasa bangga memakai produk
luar negeri atau makan di restoran franchise, padahal mereka hanya
menjual nama. Toh bahannya juga lokal, dikemasnya juga disini, yang beda
kan cuma labelnya.” Jika ditilik lebih lanjut memang ada benarnya. Apa
bedanya kue yang dijual di mal dengan yang dijual di Pasar Kranggan,
hanya tempat dan kemasannya bukan? Bahkan seringkali terjadi
"outsourcing" oleh pihak Mal (khusunya untuk foodcourt) dengan mengambil
makanan dari pedagang tradisional dan menjual dengan harga jauh lebih
mahal. Ditinjau dari sisi positif, memang ada kesan membantu. Namun apa
benar-benar membantu? Tidak ada perubahan kesejahteraan dari si pedagang
meski jualannya dijual di etalase kaca.
Dualisme sektor modern
dan tradisional adalah implikasi yang tidak bisa dihindarkan dalam
sebuah pembangunan. Seiring perjalanannya, sektor tradisional sebagai
sektor ekonomi rakyat akan selalu menjadi yang tergilas. Generasi muda
bangsa diharapkan mampu menjadi sosok pejuang dan pembangun sektor
ekonomi rakyat ini, yang kelak mampu mengangkat taraf hidup dan derajat
masyarakat grass root. Mampu mengantar mereka ke kehidupan yang lebih
baik, yaitu kesejahteraan dan kesetaraan.
ditulis Aries Setiadi, Andar Hermawan, dan DK
Tulisan
berjudul asli "Dualisme Pasar di Kota Pelajar", diterbitkan pada
majalah Equilibrium tahun 2004.
Photo terpasang adalah photo pasar Beringhardjo tahun 1910, saya temukan di sebuah folder komputer di warung internet.