Jumat, 24 Desember 2010

Pertanyaan Wawancara: Zodiak Kamu Aries?




Proses interview adalah proses yang paling menentukan dalam proses seleksi beasiswa yang saya ikuti. Selain menentukan lolos tidaknya peserta mendapat beasiswa, hasil interview juga yang menentukan apakah seseorang mendapat jatah beasiswa di dalam negeri, linkage (separuh pendidikan di dalam negeri dan separuh di luar negeri), atau sepenuhnya di luar negeri. Cukup menegangkan!

Sehari sebelum interview, gosip mengenai siapa pewawancara dan bagaimana karakter mereka mulai dibicarakan. Ada yang bilang enak, ada yang bilang menakutkan. Saya mah pasrah saja, walaupun dalam hati sih deg-degan juga.

Gedung Djuanda lantai Mezzanine masih sepi ketika teman-teman dan saya dating ke sana pukul 8 pagi, hari Kamis, 23 Desember 2010 kemarin. Mas Agung Hidayat Purwanto, Amanda, April, Mas Bayu Sukmono, Mas Cahyo Indartomo, Eko, Mbak Lestari Kurniawati, dan saya berkumpul di ruang tunggu tempat wawancara. Di tempat itu, kami bisa melihat satu persatu pewawancara berdatangan. Mereka adalah kepala biro Sumber Daya Manusia, kepala biro Hubungan Masyarakat, dan Pak Made sebagai perwakilan dari Sekretaris Direktorat Jenderal Anggaran. Melihat Pak Made sebagai salah satu pewawancara, saya menjadi jauh lebih tenang.

Beberapa hari sebelum wawancara, Pak Made sempat mengumpulkan 16 peserta dari Direktorat Jenderal Anggaran yang lolos tahap wawancara beasiswa. Beliau berbagi pengalaman beliau menempuh pendidikan Master (dengan beasiswa juga) dan memberikan gambaran kemungkinan proses wawancara. Pak Made memberikan saran agar kami mampu menjawab dengan jelas, konsisten, dan jika perlu dalam bahasa Inggris juga. Mengenai pilihan jurusan, Pak Made bercerita bahwa tidak selalu harus sama dengan latar belakang pendidikan sebelumnya atau harus sama dengan pekerjaan yang dijalani sekarang, selama memiliki argumentasi yang jelas. Ia mencontohkan dirinya sendiri yang memilih pendidikan Master of Business Administration, dengan alas an bahwa sudah sepatutnya Pemerintahan dikelola secara lebih professional layaknya perusahaan-perusahaan swasta.

Pada saat itu, pilihan studi saya di lembar isian wawancara adalah Master of Arts in Environmental Science di Columbia University. Program 1 tahun ini saya pilih karena programnya yang menarik, yaitu menyatukan unsur ilmu lingkungan dengan ilmu tata kelola lingkungan. Dari situsnya, salah satu alumni yang memberikan testimonial juga bekerja di sektor Budgeting. Makin merasa yakin lah saya dengan pilihan tersebut. Tetapi saat wawancara, Pak Anies, dari bagian SDM memberikan saran, agar sebaiknya saya tidak mengambil program yang terlalu spesifik dan agak jauh dari inti pekerjaan saya sebagai pengelola anggaran. Beliau menyarankan untuk mengambil ilmu ekonomi atau kebijakan publik, lalu mengambil konsentrasi sesuai dengan minat saya.


Saya kebagian wawancara agak akhir, karena selain ada urutan tersendiri, kemudian berlaku juga ‘aturan’ ladies first. Enaknya, saya bisa mendapat bocoran pertanyaan dari peserta tes sebelumnya. Nggak enaknya, ya, deg-degan menunggu. Sampai kemudian nama saya dipanggil… lega rasanya. Padahal sih belum ditanya-tanya ha ha ha.

Pertanyaan pertama yang keluar adalah: “Anda mau berdoa terlebih dahulu?”

Saya mengangguk, kemudian diberi kesempatan untuk berdoa. Saya membaca Al-Fatihah.

Wawancara ini sekalipun resmi, saya jalani cukup santai. Rahasianya ada pada pertanyaan kedua. Saat Pak Anies, menyebut ulang nama saya , Aries, dia langsung berkomentar: “zodiaknya pasti Aries ya?”

Zodiak saya Taurus, Pak.”

Tersentak, dia lalu membaca biodata saya di lembar profil. Pak Made kemudian menanggapi, “wah iya, ya, 26 kan udah bukan Aries lagi.

Saya sedikit bercanda, “ayah saya salah lihat kalendar, Pak. Makanya nama saya salah!”

Kami terbahak-bahak.

Wawancara kemudian kembali ke bahasan serius. Posisi kerja, deskripsi kerja, pengalaman, hingga latar belakang pendidikan Strata 1 saya. Ternyata, load pekerjaan saya yang lumayan membuat stress, Alhamdulillah, justru menjadi modal saya dalam wawancara. Saya jadi bisa menunjukan kalau kerja saya memang ada hasilnya. Misalnya, proyek pembuatan database. Seandainya saya kerja santai-santai saja, mungkin bisa kebingungan menjawab pertanyaan mengenai hasil kerja.

Saya juga sempat ditanya, “pernah jadi murid Pak Boediono?”

Wah, dengan mantap, saya mengangguk. “Pernah!”

Kebetulan memang pernah mengambil kelas Perekonomian Indonesia saat Pak Boediono ada dalam masa tenggang setelah selesai menjabat Menteri Keuangan dan kemudian dipanggil untuk menjadi Menteri Koordinator Keuangan. Entah lah ini menjadi poin atau tidak, tapi bahasan tentang Pak Boediono ini cukup dibahas secara seru saat wawancara.

Pada sesi wawancara ini juga ditanya mengapa nilai TOEFL saya agak rendah. Saya kemukakan alas an sejujurnya: nggak belajar. Tapi saya kemudian menjelaskan kalau saya punya hasil tes TOEFL iTP yang agak lumayan. Untungnya pula, saya punya skor TOEFL iTP tersebut yang sudah dilegalisasi IIEF. Untuk meyakinkan juga, dalam nejawab pertanyaan ini, saya menggunakan bahasa Inggris. Tsaahhh!

Selesai wawancara, saya cuma bisa pasrah sepasrah-pasrahnya. Usaha sudah dijalani. Allah swt pasti tahu yang terbaik untuk umat-Nya.

PS: Cerita lain saat seleksi beasiswa bisa disimak melalui posting dengan label scholarships

picture courtesy of http://michaelsseaver.com/careerbusinesscoaching/steps-to-a-successful-interview/

Jumat, 26 November 2010

Seleksi Administrasi dan Seleksi Tertulis for Dummies


Posting blog ini sekedar sharing mengenai tahapan-tahapan tes dalam mencari beasiswa Master. Tidak sepenuhnya sama antar beasiswa yang satu dengan yang lain. Beasiswa yang saya dapatkan berasal dari kantor saya sendiri, Kementerian Keuangan. Namun tahapan-tahapannya, saya pikir relatif mirip dengan beasiswa lain. Semoga bisa bermanfaat.

Beasiswa yang saya ikuti adalah beasiswa SPIRIT (Scholarship Program for Strengthening the Reforming Institution) dari Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM), Badan Pendidikan dan Pelatihan (BPPK) Kementerian Keuangan RI. Beasiswa SPIRIT ini terdiri dari tiga jenis, yaitu studi dalam negeri, linkage (dual degree dalam dan luar negeri) serta luar negeri. Semuanya meliputi beasiswa Strata 2 ataupun Strata 3.

Tahap pertama seleksi beasiswa adalah seleksi administrasi. Yang diperlukan cukup standar: kopi ijazah dilegalisasi, kopi transkrip dilegalisasi, formulir isian pendaftaran, surat keterangan pegawai (diurus bagian kepegawaian), dan kalau tidak salah kopi hasil tes TOEFL (meski kemudian dites lagi). Meski dibilang hanya seleksi normatif, tapi ternyata ada beberapa teman saya yang tidak lolos seleksi administrasi ini. Jadi, sekalipun terkesan sepele, perlu dipastikan apakah kelengkapan kita sudah terpenuhi atau belum.

Seleksi tahap kedua adalah seleksi tertulis. Tes ini berjalan dua hari. Hari pertama, 4 November 2010, Tes Potensi Akademik di pagi hari dilanjutkan dengan Tes Kemampuan Berbahasa Inggris (PBT-TOEFL Test). Sementara hari kedua, 5 November 2010, Psikotes berjalan setengah hari saja.

Untuk persiapan seleksi tertulis awalnya berjalan baik, karena Pak Satya, bagian pengembangan SDM di bagian kepegawaian berinisiatif mengundang pihak GPS Jakarta untuk datang ke kantor memberikan pelatihan TPA. Selain itu, Direktorat Penyusunan APBN, berinisiatif untuk mengundang seorang pelatih TOEFL untuk sharing tentang TOEFL PBT. Alhamdulillah. Namun menjelang hari H, persiapan justru agak keteteran. Semalam sebelum tes, saya baru pulang kantor pukul 8 malam! Haduh!

Buku ‘Tes Intelegensia’ dari  Yul Iskandar dan lembaran soal-soal dari GPS Jakarta sempat saya baca beberapa hari sebelumnya, tapi slide presentasi TOEFL dan sebuah buku Tes TOEFL yang saya beli hanya dibaca secara SKS alias Sistem Kebut Semalam. Ini benar-benar berpengaruh ternyata. Karena ternyata hasil TOEFL saya dalam test beasiswa ini jauuuhhhh turun dibanding hasil Test TOEFL Institusional di UI beberapa bulan sebelumnya. Alhamdulillah masih di atas 500 dan di atas batas minimal seleksi beasiswa.
Pengalaman saya, pelatihan TPA dari GPS Jakarta (walaupun hanya satu hari) dan buku Yul Iskandar cukup bermanfaat sebagai modal tes TPA dan Psikotes. Setidaknya jadi familiar lagi dengan tipikal soal-soal tes tersebut. Maklum, terakhir kali nyentuh tes-tes seperti itu saat era pencarian kerja dulu.

Tes TPA cukup standar. Hitungan, bahasa Indonesia yang jarang dipakai dalam keseharian, logika angka, logika kata. Sementara Tes TOEFL PBT menguji kemampuan Reading (membaca), Listening (mendengarkan), dan Structure (struktur grammar atau tata bahasa Inggris). Banyak tentunya buku-buku persiapan TOEFL, tapi mungkin lebih baik kalau membeli buku latihan saja dibanding buku persiapan yang naratif atau sekedar berisi tips.

Tes Psikotes sebenarnya kurang saya suka. Saya kurang bisa menggambar pada dasarnya, tapi banyak psikotes justru berhubungan dengan gambar. Mulai dari logika gambar,logika angka, tes Pauli (menjumlahkan angka di kertas seukuran koran dari atas ke bawah), tes Wartegg (melengkapi gambar di delapan kotak), hingga menggambar pohon dan orang dijalani agak kurang enjoy, walau memaksakan diri tetap fokus juga. Saya cuma meyakinkan diri kalau gambar saya nggak perlu bagus yang penting menarik. Menggambar pada tipe psikotes ini pernah saya jalani ketika tes untuk Unilever Busines Week di tahun 2006, dan alhmadulillah saya lolos jadi trainee. Beberapa gambar malah saya “reka ulang” dari tes untuk Unilever dulu he he he. Alhamdulillah, akhirnya di tahapan seleksi tertulis ini lolos juga.

Untuk seleksi beasiswa ini, syarat minimal TPA adalah 565, TOEFL PBT 450, dan Psikotes minimal B. Untuk psikotes ini saya kurang tahu sih apa yang dimaksud B dan A. Kata seorang teman, ini hanya tipikal saja, bukan urutan. Tapi kata seorang teman yang lain, dia mendapat hasil TPA dan TOEFL diatas persyaratan minimal, tapi sayang nilai psikotesnya C, jadi gagal seleksi tertulis.

Tes seleksi tertulis yang agak kurang persiapan dan dipaksa harus melaksanakan pekerjaan yang bukan bidang saya, yaitu menggambar, membuat saya berupaya melalui jalan sakti dalam berusaha: doa. Untunglah tempat seleksi saya di area Kantor Bea dan Cukai, Jalan Ahmad Yani, Jakarta Pusat dilengkapi dengan masjid yang nyaman. Setiap pagi, sebelum tes, saya sempatkan dulu shalat Dhuha beberapa rakaat. Pasrah banget lah. Saya kebetulan orang yang percaya, kalau usaha dan upaya sudah mentok, doa senjata yang paling kuasa he he he.

Beberapa cerita lainnya akan saya coba unggah ke blog ini secara bertahap. Semoga sharing pengalaman ini bisa bermanfaat. Semoga pula Allah swt menghindarkan saya dari niatan riya dan takabur dalam menuliskannya. :)

Ceita lain bisa disimak melalui posting dengan label scholarships

Kamis, 21 Oktober 2010

Titik Nol


Sejak setahun setelah bekerja, saya sebenarnya sudah mencari-cari peluang beasiswa. Pekerjaan yang (pada saat itu) agak overloaded membuat saya agak kurang betah. Saat itu saya sebagai staf konsolidasi penganggaran belanja Kementerian/Lembaga yang mengkompilasi (saat itu )74 K/L dilihat dari sisi per sumber dananya, per jenis belanjanya, per fungsinya, per programnya,  per kegiatannya, dan semua itu jumlahnya harus tepat sama bahkan hingga ke satuan rupiahnya. Belum lagi kompilasi angka-angka belanja tematis seperti penanggulangan kemiskinan, infrastruktur, perubahan iklim, hingga anggaran berbasis gender.

Sempat dalam satu malam, kira-kira pukul 7 malam, tiba-tiba Pak Direktur atas instruksi Staf Ahli Presiden meminta anggaran “Penelitian dan Pengambangan” dan harus bisa dirumuskan dalam kurang setengah jam! Ditambah pula, ada tim yang harus mengumpulkan data-data historis selama 5-10 tahun ke belakang dan disatukan dalam satu buku dan saya kebagian jadi kompilatornya. Dooh, stressful!

Saking nggak terlalu betah, sempat juga daftar kerja ke tempat lain he he he. Tapi ternyata bukan rezeki saya. Untungnya kantor yang ada di area Lapangan Banteng, dekat dengan gedung Aminef yang  (tahun 2009-2010an masih) berlokasi di gedung Balai Pustaka, Gunung Sahari. Bersama dengan Nurul, teman SMA yang bekerja di Kementerian Pendidikan Nasional, yang tempat kerjanya bersebelahan dengan Balai Pustaka, kami nekat datang ke Aminef bertanya tentang beasiswa.

Orang di Aminef lebih merekomendasikan kami membuka website-nya sih. Dan menurut salah satu mas-mas yang ada saat itu hanya bilang kalau melamar beasiswa harus disiapkan, jangan sekedar ‘nothing to lose!’ karena bisa ‘lose’ beneran. Menurut dia juga, katanya pengalaman kerja itu penting. Dua atau tiga tahun pengalaman diperlukan sebagai pertimbangan untuk beasiswa Fullbright. Tapi menurut Ibu Antje, salah satu konselor EducationUSA Indonesia aka Aminef, ketika bertemu beliau awal tahun 2012an lalu, katanya saat ini fresh graduate pun bisa melamar langsung.

Pihak SDM kantor saya ternyata hanya mengizinkan pegawai untuk bisa kembali studi adalah 2 tahun sejak bekerja. Sempat ada perdebatan, apakah dihitung sejak awal bekerja sebagai CPNS atau setelah menjadi PNS. Untunglah keputusan akhirnya adalah dihitung sejak awal bekerja. Baiknya pihak SDM saat itu juga karena semua pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran, sempat diikutsertakan test TOEFL institusional di LIB UI pada Desember 2009. Sehingga, kami punya skor TOEFL sebagai modal awal.

Saat itu, lowongan beasiswa ADS datang disekitar bulan Maret atau April. Teman saya, Hanie, melamar (dan kemudian lolos berkuliah di ANU). Saya sempat pengen juga, tapi karena mepet dan pekerjaan saya yang memang overload jadi membuat saya sulit mengejar semua persyaratan hingga batas waktu. Mungkin karena malas juga sih sebenarnya he he he. Untungnya bersamaan dengan itu pendaftaran beasiswa PPSDM BPPK dibuka. Daftarlah saya! Sejak itulah, titik nol kilometer petualangan beasiswa mulai dijajaki.

Beberapa cerita lainnya akan saya coba unggah ke blog ini secara bertahap. Semoga sharing pengalaman ini bisa bermanfaat. Semoga pula Allah swt menghindarkan saya dari niatan riya dan takabur dalam menuliskannya. :)

picture courtesy of Inspirasi Pagi

Jumat, 01 Januari 2010

Dualisme Pasar di Kota Pelajar





Pulang ke kotamu..ada setangkup haru dalam rindu..masih seperti dulu..tiap sudut menyapaku bersahabat..
(Katon Bagaskara dalam cuplikan lagu Yogyakarta).

Sebait lirik lagu diatas adalah lukisan kekaguman Sang Musisi terhadap Yogyakarta yang sering dijuluki sebagai kota budaya dan kota pelajar, bagi orang-orang yang tinggal di kota ini atau bagi yang hanya sekedar singgah, tentunya akan merasakan kesan yang serupa. Aura dan nuansa budaya tradisional di kota ini dulunya begitu mengendap dalam benak siapa saja yang ada didalamnya. Tetapi seiring waktu berjalan, sisi-sisi tradisional mulai semakin ditinggalkan. Apa gerangan yang terjadi di kota ini?

Tak dapat dipungkiri jika kini Yogyakarta semakin tidak jauh beda dengan Jakarta, Bandung, atau Surabaya. Jalanan semakin macet, polusi  yang melebihi ambang batas,  ratusan papan iklan yang angkuh menghiasi sepanjang jalan, dan beberapa mal megah mulai menggeser keberadaan sisi tradisionalitas Yogyakarta. Seperti sebuah lagu yang terlupakan, keindahan lirik lagu Yogyakarta kini mulai dipertanyakan. Masihkah keindahan kota ini meninggalkan kesan?

Mal: Sensasi baru
Akhir-akhir ini, Kota Yogyakarta seolah sedang bergeliat melakukan revolusi untuk menjadi kota (yang ingin disebut) modern. Pembangunan sarana infrastruktur digalakkan dan pertumbuhan ekonomi dipompa. Konon katanya, semua itu dilakukan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diharapkan juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tujuan yang tidak terlalu muluk-muluk.

Berbagai aksi mulai dirancang dan diberlakukan untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan tersebut. Pembangunan mal dianggap sebagai salah satu cara untuk menggapainya. Pembagunan mal-mal diharapkan dapat menarik investasi berskala besar. Gayung bersambut ketika akhirnya investor mal mulai berdatangan ke Yogyakarta. Bahkan, disusul dengan maraknya investasi di bidang perumahan. Namun, rasanya ini sedikit melenceng dari sasaran. Sekali lagi pertanyaan diajukan, apakah pembangunan mal meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Masyarakat mana?

Galeria Mall, Mal Malioboro, Ramai Mall, dan kelak  disusul oleh Plaza Ambarukmo, Saphir Square, Hypermarket Makro, franchise Marvin Reeves Trade Center, Jogjatronik, Rekso Arcade, Kedaung, bahkan Gama Plaza milik PT. Gama Multi Usaha Mandiri (salah satu unit bisnis Universitas Gadjah Mada) akan menambah deretan panjang mal-mal yang mengisi kota kecil bernama Yogyakarta ini. Konsumennya jelas masyarakat umum. Apalagi di Yogyakarta tertampung ribuan pelajar dan mahasiswa pendatang, pangsa yang menarik untuk dibidik. Menengah keatas? Tidak juga. Masyarakat menengah ke bawah pun tidak mau ketinggalan untuk bertandang ke mal. Ciri khas mal yang menawarkan kenyamanan, keleluasaan, pengemasan menarik, dan harga yang bersaing memang menjadi daya pikat utama dari sebuah mal.

Informasi dari media kapitalis turut berperan akan tumbuhnya tingkat konsumsi di pusat perbelanjaan one stop shopping ini. Reklame-reklame pusat perbelajaan yang menyuguhkan simbol kepercayaan diri dan gaya hidup masa kini menjadi sebuah imagologi bagi para konsumennya. Mal kini telah menjadi sebuah ikon yang diasosiasikan dengan tren terbaru, cita rasa tinggi, gengsi, modernitas, dan globalisasi. Pun, semua itu seolah wajib diikuti.

Hal ini tidak dapat diingkari. Dalam buku ‘Ectasy Gaya Hidup’ disebutkan bahwa masyarakat cenderung terserap dalam keperkasaan kebudayaan pop yang kian hegemonik dengan segala atributnya. Gaya hidup kini telah menjadi komoditas. Sayangnya, kebanyakan orang tampak lebih mementingkan “kulit” daripada “isi.” Disinilah muncul istilah hedonisme yang konon disebabkan perkembangan ekonomi yang pesat. Mungkin ini menjadi konsekuensi logis bagi tujuan perekonomian kita.

Mal memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Implikasi positif yang dimunculkan juga ada. Terserapnya tenaga kerja, pendapatan daerah yang melambung, atau meningkatnya investasi. Tapi ini tidak sebanding dengan implikasi negatif yang ditimbulkan. Kriminalitas, kemacetan yang pada ujungnya meningkatkan polusi, atau bahkan musnahnya pasar tradisional karena keberadaannya semakin terpinggirkan. Hal ini dibenarkan Agus Miftahus Surur, pengamat ekonomi dan peneliti dari Surabaya. “Inilah deretan implikasi dari sekian banyak persoalan yang cenderung mengutamakan kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Tujuan mensejahterakan masyarakat pun menjadi kabur. Mayoritas masyarakat Yogyakarta bergelut di sektor informal yang termasuk pula didalamnya pedagang kecil dan menengah. Apa untungnya masyarakat lokal Yogyakarta dengan bertambahnya mal. Yang justru bertambah banyak adalah dampak negatifnya. Sifat konsumtif masyarakat yang bertambah tinggi, tergesernya lahan-lahan publik (bahkan sebuah bangunan Sekolah Dasar dalam pembangunan Plaza Ambarukmo), dan bergugurannya pengusaha kecil karena tidak mampu bersaing. Pemerintah daerah (pemda) seharusnya bersikap melindungi masyarakat.

Pemda seharusnya waspada. Pertumbuhan mal-mal dapat mengurangi daya tarik wisata Yogyakarta. Yogyakarta sudah kadung terkenal dan dikenal akan budaya dan pendidikannya. Jika ingin menjadi pusat wisata belanja rasanya kurang tepat. Bersaing dengan Bandung yang sudah terkenal dengan factory outlet, jeans, dan produk sepatunya akan sulit. Apalagi jika dibandingkan dengan Orchad Road di Singapura. Yogyakarta lebih tepat jika dikembangkan sektor budaya dan pendidikannya. Kita bisa berkaca pada  Perancis. Bangunan-bangunan bergaya kuno di Perancis masih dipertahankan, museum-museum diperbaiki, pusat informasi pariwisata diperkaya, dan universitas-universitas dengan jurusan seni ditingkatkan kualitasnya. Hasilnya, bisa disaksikan dunia. Yogyakarta mungkin sebaiknya mengambil pelajaran dari Perancis. Hal ini sebenarnya sudah sering disampaikan banyak pihak. Sejumlah seniman pernah menentang pembangunan mal dengan menggelar performance art di beberapa tempat pada bulan Oktober 2004 lalu.

Investor mal pun sebenarnya sudah seharusnya waspada. Sudah benarkah mereka membuat sebuah studi kelayakan usaha? Perlu diingat bahwa Yogyakarta adalah sebuah daerah yang tidak terlalu luas. Disamping itu, pangsa pasar yang mereka bidik dirasa kurang tepat. Rata-rata pengunjung mal, yaitu pelajar dan mahasiswa adalah pengunjung yang sekedar ingin berekreasi (window shopping), bukan berbelanja.

Yang berperan sepenuhnya disini memang konsumen, konsumen memiliki hak istimewa untuk memilih mal atau menoleh kembali pada pasar tradisional?

Pasar Tradisional : Sebuah harapan
Suasana ‘Indonesia sebenarnya’ dapat dirasakan dalam sebuah pasar tradisional. Nuansa gemeinschaft (kebersamaan) dan kekeluargaan begitu melekat didalamnya.  Itulah isi dari sebuah pasar tradisional. Di Yogyakarta, terdapat banyak pasar tradisional yang memiliki corak khas tersendiri. Pasar Kranggan, Pasar Burung Ngasem, Pasar Sepeda Terban, bahkan pasar yang berjuang sendiri di tengah-tengah modernitas Malioboro, Pasar Beringharjo. Menurut data Dinas Pasar Kota Yogyakarta, ada 30 pasar tradisional yang masih eksis di kota ini, dengan total jumlah pedagang sebanyak 12.748 jiwa. Berdasarkan jumlah pedagang dan luas bangunan, lima pasar terbesar adalah; Pasar Beringharjo, Pasar Kranggan, Pasar Sentul, Pasar Giwangan, dan Pasar Kotagede. 

Dilihat dari akar historisnya, pasar tradisional menjadi salah satu fondasi bagi terbentuknya Kota Yogyakarta, sebenarnya dulu ada empat fondasi utama yang menyangga kota ini, yang sering dianalogikan dengan catur tunggal. Meliputi; kraton, alun-alun, pasar, dan masjid. Pasar tertua dan terbesar di kota ini adalah pasar Beringharjo, bahkan embrio pasar ini telah mengada sejak tahun 1758. Konon Pemerintah Hindia Belanda pernah memberi gelar pasar ini dengan sebutan “eender mooiste passers op Java,” artinya salah satu pasar terindah di Jawa.

Pasar tradisional menjadi salah satu alternatif masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari dengan harga yang relatif lebih murah. Untuk sebagian masyarakat, pasar tradisional bahkan dapat dijadikan tempat rekreasi untuk melepas kepenatan dalam kesibukan sehari-hari. Di pasar tradisional, interaksi antara penjual dan pembeli dapat berlangsung lebih akrab dan menawar harga suatu produk dapat memberikan kepuasan tertentu.

Jika dikelola dengan baik, tidak mustahil pasar tradisional akan mendatangkan keuntungan. Pasar tradisional dengan ciri khasnya bisa menjadi komoditas wisata yang pada akhirnya juga menguntungkan pemerintah daerah. Malah pasar tradisional dapat menjadi trade mark suatu kota. Artinya, mendengar nama pasar tradisional orang akan secara otomatis ingat kota di mana pasar itu berada. Misalnya Pasar Beringharjo, orang akan ingat kota Yogyakarta, atau Pasar Kumbasari, orang akan ingat Kota Denpasar. Karena itulah pasar tradisional dapat dijadikan salah satu atraksi wisata kota.

Namun, kita tak jarang mendengar sebutan becek, panas, sumpek, sempit, dan entah kata-kata berkonotasi negatif apalagi yang biasanya dicitrakan masyarakat umum terhadap sebuah pasar tradisional. Pasar tradisional memang memiliki keterbatasan fisik dan terkesan semrawut. Hal ini sebenarnya masih bisa diperbarui. Dalam permasalahan ini, menjadi tugas semua elemen untuk memperbaruinya. Pemerintah, masyarakat, dan penghuni pasar itu sendiri. Pasar tradisional sebaiknya mulai ditata, dirapikan, dan ditertibkan. Sebagai gambaran, Pasar Putih di Bukittinggi, Sumatera Barat. Disana, pasar ditata rapi, tempatnya bersih, pedagangnya ramah, nuansanya teduh, terkadang samar-samar terdengar alunan ayat suci yang dikumandangkan seorang tuna netra. Jauh dari kesemrawutan.

‘Isi’ memang menjadi sebuah keunggulan dari pasar tradisional yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Terlebih pasar modern.

Menilik pembangunan dan modernisasi di kota ini, jika tidak disikapi dengan bijaksana, tentunya akan menghilangkan identitas dan eksistensi budaya Yogyakarta. Sunarti, seorang sosiolog yang berhasil ditemui EQ mengungkapkan, “Apa jadinya jika kita lebih merasa bangga memakai produk luar negeri atau makan di restoran franchise, padahal mereka hanya menjual nama. Toh bahannya juga lokal, dikemasnya juga disini, yang beda kan cuma labelnya.”  Jika ditilik lebih lanjut memang ada benarnya. Apa bedanya kue yang dijual di mal dengan yang dijual di Pasar Kranggan, hanya tempat dan kemasannya bukan? Bahkan seringkali terjadi "outsourcing" oleh pihak Mal (khusunya untuk foodcourt) dengan mengambil makanan dari pedagang tradisional dan menjual dengan harga jauh lebih mahal. Ditinjau dari sisi positif, memang ada kesan membantu. Namun apa benar-benar membantu? Tidak ada perubahan kesejahteraan dari si pedagang meski jualannya dijual di etalase kaca.

Dualisme sektor modern dan tradisional adalah implikasi yang tidak bisa dihindarkan dalam sebuah pembangunan. Seiring perjalanannya, sektor tradisional sebagai sektor ekonomi rakyat akan selalu menjadi yang tergilas. Generasi muda bangsa diharapkan mampu menjadi sosok pejuang dan pembangun sektor ekonomi rakyat ini, yang kelak mampu mengangkat taraf hidup dan derajat masyarakat grass root. Mampu mengantar mereka ke kehidupan yang lebih baik, yaitu kesejahteraan dan kesetaraan.

ditulis Aries Setiadi, Andar Hermawan, dan DK

Tulisan berjudul asli "Dualisme Pasar di Kota Pelajar", diterbitkan pada majalah Equilibrium tahun 2004.

Photo terpasang adalah photo pasar Beringhardjo tahun 1910, saya temukan di sebuah folder komputer di warung internet.