Minggu, 19 Agustus 2012

Lebaran Tanpa Takbiran

Jika pada posting sebelumnya, saya bercerita tentang pengalaman berpuasa di luar Indonesia. Posting kali ini adalah "gong"-nya: berlebaran pertama di luar Indonesia.

Bagaimana rasanya?

Asing, tentunya.

Tidak ada takbiran, tidak ada acara kumpul keluarga yang biasa mudik semua, dan tidak ada teriakan-teriakan keponakan. Pagi di hari terakhir Ramadhan di guyur hujan. Sabtu pagi di Central Park menjadi sepi. Tidak banyak orang yang berolahraga seperti biasa atau sekedar mengajak anjing-anjing mereka berlari pagi. Menambah suana melankoli.

Puasa terakhir yang biasanya saya sambut dengan makanan mewah (maklum puasa terakhir biasanya menjelang lebaran dan menu berbuka 'lebih' dari puasa biasa), kali ini menjadi standar-standar saja. Apa yang bisa diharapkan dari makanan halal di New York (yang mudah dijangkau tentunya) selain Lamb over Rice dari Deli cart di pojok-pojok jalan?

Seusai berbuka, saya menelepon ke rumah. Mengucapkan selamat idul fitri dan memohon maaf. Zona waktu yang berbeda 11 jam membuat keluarga saya sudah 'heboh' dengan lebaran, sementara saya masih bengong menunggu pagi.

Karena masih menginap di KBRI, say amencoba turun ke lantai basement, tempat satpam berjaga. Malam itu Pak Madjid yang sedang mendapat giliran. Namun rupanya, masih ada juga Ibu Entin, bagian dapur di KJRI, yang sedang memasak ketupat untuk acara open house dari Konsulat Jenderal RI untuk New York besok siang.

Saya tertarik dengan ketupat ala New York. Tak seperti ketupat di Indonesia yang dibuat dengan bungkus daun kelapa, di New York, ketupat di masak dalam bungkus plastik zip lock. Bentuknya mirip memang, tapi bukannya plastik nggak boleh dipanaskan ya? Apalagi direbus berjam-jam?

Minggu pagi, saya bangun agak kesiangan. Shubuhan baru pukul setengah enam. Langsung mandi sekalian.

Menurut situs Islamic Cultural Center of New York, mereka akan mengadakan empat kali shalat sunah Idul Fitri, dengan jadwal terpagi pukul 7.30. Baju lebaran dari kakak perempuan saya langsung saya keluarkan dari koper. Amanah dari dia, katanya harus dipakai buat lebaran. Karena masih setengah nyawa dan salah perhitungan, saya memutuskan untuk berjalan kaki dari KJRI ke ICCNY. Saat itu saya berpikir, "kan dari 86th Street ke 96th Street cuma 10 blok ini!"

Dan itu salah! KJRI ada di 68th Street Fifth Avenue, sementara ICCNY ada di 96th Street Third Avenue. Jadilah saya pagi itu berjalan total jenderal 28 blok plus 2 avenue. Lebih kurang 30 menitan saya berjalan. Semoga Allah mencatat setiap langkah sebagai ibadah ya?! Aamiin.

Dari jauh, tampak kubah masjid begitu sangat kecil dibanding bangunan pencakar langit di sekitarnya. Namun kerumunan orang di pintu depan sudah menciptakan nuansa megah tersendiri.




Di area pintu masuk, terdapat beberapa kotak (seperti kotak amal) yang ditujukan untuk pembayaran zakat fitrah. Untuk di ICCNY, zakat fitrah dikenakan minimal setara USD10.00. Alhamdulillah, sebelum terbang ke New York, saya sempat membayar zakat fitrah di booth PKPU di kantor.



Memasuki pintu utama masjid, orang sudah sesak antri. Bagian penitipan sepatu tampaknya kewalahan. Untungnya mereka berinisiatif menyediakan plastik besar untuk tempat sepatu agar bisa dibawa oleh masing-masing jamaah. Saya memilih naik ke lantai dua, dan menyelipkan sepatu di antara tumpukan karpet di belakang.


Di lantai dua, ternyata juga sudah cukup penuh. Muka saya yang aneh sendiri (mayoritas jamaah adalah warga keturunan timur tengah, India, dan kulit hitam. Muslim kulit putih terlihat beberapa terselip.) dan celingak celinguk kebingungan akhirnya menarik perhatian salah seorang jamaah berkulit hitam. Dia berteriak dan melambaikan tangan ke arah saya, "come here brother!". Dia kemudian menggeser duduknya, menyisakan ruang yang pas buat saya.

Alhamdulillah, akhirnya dapat shaf pertama. Shalat juga belum dimulai ternyata. Bagian takmir masih memberikan pengumuman dan mengingatkan untuk membayar zakat fitrah. Pria berkulit hitam tadi langsung memekik, "God, I forgot."

"You can pay it downstairs," respon saya.

Ia lalu meminta saya menjaga tempat dia. Tak lama kemudian, dia kembali dan shalat sunah akan dimulai segera. Saat semua jamaah berdiri, barulah terlihat ternyata saya pendek banget ya, dibanding para pria timur tengah dan kulit hitam ha ha ha...

Memang sangat sedikit ras Melayu seperti saya (atau malah nggak ada lagi) yang shalat sunah di ICCNY pagi itu. Usut punya usut, kebanyakan warga Indonesia memilih berkumpul di Masjid Al Hikmah, Queens untuk sahalat berjamaah di sana.

Selesai shalat, khatib berkhutbah. Isinya adalah perjuangan menjaga iman setelah Ramadhan. Standar mungkin jika didengar di Indonesia. Tapi di Amerika, perjuangan itu memang ada.

Usai khutbah, jmaah berhamburan keluar. Di area taman, sudah cukup banyak orang berjualan. Kaligrafi, peci, sajadah, ukiran, hingga madu. Suasana ini mengingatkan saya pada Masjid Kampus UGM di daerah lembah UGM.




Tidak ada antrian untuk salam-salaman mengular seperti halnya seusai shalat sunah di Indonesia (atau tepatnya di Garut, tempat kelahiran saya). Semua langsung bubar, meski ada beberapa yang kemudian berfoto-foto di taman.

Saya langsung menuju stasiun Metro Subway. Masih sepi di Minggu pagi. Beberapa jamaah shalat sunah tadi masuk dalam satu rangkaian gerbong dengan saya. Saya memperhatikan mereka dengan sembunyi-sembunyi, karena takut menggangu privasi. Namun tampaknya ada yang membuntuti pandangan saya, dan saat kami mata kami beradu, dia melambaikan tangan dan berkata, "assalamualaikum."

"Wa'alaikum salaam."

2 komentar:

  1. Pengalaman lebaran yang beda dengan di Indonesia...semoga justru menambah kekuatan iman...thanks for sharing :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pengalaman yang menyenangkan dan kadang mengesalkan he he he. Terima kasih sudah mampir membaca.

      Hapus