Selasa, 14 Agustus 2012

The Flight I (Cengkareng - Doha)

Perjalanan menuju penerbangan kali ini dipenuhi dengan beberapa drama. Drama terbesar adalah kenyataan bahwa uang stipend saya belum bisa ditransfer karena ada dokumen bermasalah di KPPN. Sponsor meminta scan dokumen dari HSBC, bank tempat rekening saya diajukan, sementara dokumen itu ada di rumah, dan saya sudah dalam perjalanan ke Bandara. Setelah mengusahakan ini-itu, menurut komite sponsor, kemungkinan uang baru bisa diterima 1 minggu kemudian. Jadi, saya pergi ke Amerika tanpa uang?

Dramatis bukan!

Alhamdulillah, sebelumnya saya sudah menukarkan sedikit uang tabungan dengan mata uang Dolar Amerika. Agak tenang, meski nggak bisa tenang-tenang juga. Tapi, saya tetap pura-pura tenang, karena khawatir Ibu dan Kakak saya (yang ikut mengantar ke Bandara) bisa panik kalau tahu anaknya merantau ke negeri orang tanpa uang jajan.

Di Bandara, ternyata 2 orang komite dari Sponsor sudah stand by. Ada tiga orang karyasiswa yang akan berangkat dari Soekarno Hatta. Fitri, calon mahasiswa SUNY Albany, akan berangkat ke Albany via Hongkong-Chicago dengan Garuda Indonesia disambung United Airlines. Sementara Icha, calon mahasiswa Cornell University, dan saya terbang dengan Qatar Airways via Doha.

Ketika check-in, sebenarnya kami dapat petugas yang agak jutek terhadap bule yang dilayaninya sebelum kami. Untung, saat melayani sesama pribumi, sikapnya jadi ramah. Bahkan ikutan tertawa ketika Icha dan saya membayar Airport Tax dengan sisa uang pecahan dua ribuan. Terbayang tiga ratus ribu dibayar dengan recehan?

Tips! Inget bakal bayar airport tax, jadi siapkan uang rupiah secukupnya.

Setelah bagasi masuk, kami pamitan secara singkat dengan keluarga kami. Icha diantar Yuda, suaminya, dan keluarganya. Sementara saya diantar Ibu, Kakak perempuan saya, Keponakan yang baru umur tiga tahun, dan sepupu. Saya beruntung mengalami waktu perpisahan singkat ini. Hasilnya, nggak ada air mata. Padahal beberapa hari sebelumnya, lumayan kepikiran juga bagaimana rasanya meninggalkan orang tua (saat menjelang lebaran). Serasa mendapat karma.

Tahun 2000 lalu, ketika pertama kali mau pindah tinggal sendiri (dan kost) di Yogyakarta, saya sangat excited sementara Ibu saya justru nggak tenang mati-matian. Kali ini, kebalikannya. Ibu saya masih tenang-tenang, bahkan sampai salam perpisahan, tapi saya justru nggak karu-karuan perasaan. Ada rasa guilty feeling ninggalin orang tua lagi.

Dengan paspor biru ditangan, proses imigrasi keluar Indonesia sangatlah mudah. Ada loket sendiri dan nggak perlu antri (karena memang sepi). Alhamdulillah!

Pada penerbangan Cengkareng - Doha, Icha dan saya duduk berurutan depan belakang. Jadinya nggak ada teman ngobrol. Tiga deret kursi lainnya di sebelah saya adalah satu rombongan keluarga. Jadilah saya kambing congek saja. Untung perjalanan dimulai tengah malam. Jadilah saya tidur panjang, dan cuma bangunkalau ada makanan datang.

Pejalanan dengan Qatar Airways lumayan menyenangkan. Pramugari/a-nya lebih ramah dibanding Emirat, dan Qatar Airways memberikan traveling kit berisi kaus kaki, blindfold, dan sikat gigi mini. Semua benda itu bermanfaat dalam perjalanan super panjang ini. Sayang, secara makanan masih kalah dari Emirat. Qatar sering kehabisan menu atau isi dalam paket menu kadang nggak lengkap. Saya sempat nggak kebagian yoghurt, padahal penumpang lain ada yoghurt-nya.

Transit di Doha, Qatar, pukul lima pagi sampai pukul delapan. Icha dan saya langsung mencari tempat shalat. Petugas keamanan di lantai 2 memberi arahan kalau mushala ada di lantai 1. Kami pun turun.

Karena bingung ada di mana, kami bertanya lagi ke petugas keamanan di lantai 1, dan jawabannya adalah mushala ada di lantai 2. Nah lho?!





 "Sir, where is the praying room?"

Si CS kelihatan bingung.

Saya mengangkat tangan gerakan takbir.

Si CS mulai sadar, "ahhh, shalat? Mosque?"

"Yes, masjid. Where?"

Kami pun ditunjukan arahnya. Posisi tempat shalat ini mojok dan tertutupi tempat-tempat makan dan jajanan. Icha sempat berkomentar, "ini negara Islam bukan?! Cari mushala aja susahnya!"

Saya sih mengiyakan. Pengalaman di Dubai dulu juga gitu.

By the way busway, karena kurang kerjaan, saya mengamati kalau petugas CS di bandara Doha ini masih dikuasai warga arab sendiri. Beberapa yang lain adalah warga Phillipines yang sangat helpful. Beda dengan pengalaman di andara King Abdul Aziz, Jedah. Isinya CS orang Sukabumi semua he he he...


Oh ya, mengapa saya berani bilangCS dari Phillipines helpful. Karena dia mau membantu saya mencarikan colokan listrik. Bahkan membantu sampai benar-benar bisa menyambung dengan baik.

Jadilah saya fakir WIFI. Blackberry on! Notebook on!


Maaf... saya chatting dulu ya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar